Pelajar wonokerto

My Blog List

Thursday, December 15, 2011

BUKU - RISALAH AMALIYAH NAHDLIYAH

RISALAH AMALIYAH NAHDLIYAH (PDF)


PENGANTAR ISI BUKU
 Risalah kecil ini disusun oleh tiga lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yaitu LAKPESDAM, Lembaga Bahtsul Masail dan Rabithah Maahidil Islam Kota Malang dalam rangka Harlah NU ke-82. Diantara kegiatan-kegiatan yang diadakan pengurus NU Kota Malang, PC NU Kota Malang berupaya menerbitkan risalah ini agar dijadikan pegangan dan bekal bagi para jamaahnya.
Risalah ini memuat berbagai dalil amaliah yang selama ini sudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan social sehari-hari. Para Ulama dahulu dengan segala kearifannya, lebih menekankan amal dari ilmu dari setiap amaliah sehari-hari. 
Ketika zaman telah berubah dimana gempuran kaum wahabi bertubi-tubi dari berbagai penjuru, mereka meracuni nahdliyin dengan berbagai pernyataan bahwa setiap amaliah yang telah dilakukan orang NU tidak berdasar dan bid’ah. Bahkan di daerah Jawa Tengah kelompok Wahabi dengan menggunakan baju Majelis Qiraah al Quran, membayar beberapa stasiun radio agar mempropagandakan bahwa amaliyah NU itu sesat dan bid’ah setiap pagi dan sore.
Apa yang dilakukan PCNU Kota Malang ini harus disambut baik, ditindaklanjuti dan disebarluaskan ke berbagai kalangan Nahdliyin agar mereka tidak goyah dengan amaliyahnya sehari-hari. Untuk mempermudah cara baca, sengaja risalah ini dibuat dengan sistem tanya jawab.
Share:

Wednesday, December 7, 2011

MAKESTA - MASA KESETIAAN ANGGOTA

A. Pengertian :
Masa Kesetiaan Anggota, selanjutnya disebut MAKESTA, adalah pendidikan jenjang awal dalam sistem kaderisasi formal IPNU/IPPNU yang menjadi persyaratan untuk menjadi anggota IPNU/IPPNU yang sah.

B. Tujuan
Umum :
Sebagai gerbang awal untuk menciptakan anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang ideologisasi yang memiliki kesetiaan kepada organisasi. Melalui pengenalan organisasi IPNU/IPPNU kepada calon anggota yang diarahkan kepada perubahan mentalitas, keyakinan dan sikap persaudaraan serta kecintaan kepada organisasi.
Khusus :
  1. Menumbuhkan keyakinan tentang kebenaran Islam Ahlus-sunnah waljamaah sebagai satu-satunya sistem yang berkesinambungan untuk melanjutkan da’wah islamiyah.
  2. Memberikan pemahaman tentang NU sebagai wadah perjuangan Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia.
  3. Meyakinkan kepada calon anggota bahwa IPNU/IPPNU merupakan organisasi pelajar yang tepat sebagai sarana perjuangan da’wah Islamiyah.
  4. Mengenal dan memahami organisasi IPNU/IPPNU sebagai Banom NU serta memahami isi materi organisasi IPNU/IPPNU (PD/PRT, PO dan lain lain)
  5. Menumbuhkan wawasan dan kemampuan dasar berorganisasi.
C. Output
  1. Anggota yang faham nilai keislaman dan perjuangan Islam yang dikembangkan dan diperjuangkan oleh NU (al-islam ahlussunnah wal jamaah)
  2. Peserta menjadi anggota resmi dan melibatkan diri di kegiatan IPNU/IPPNU
  3. Anggota faham tentang gerakan IPNU/IPPNU dan hubungannya dengan NU, Badan Otonom serta Lembaga NU.
  4. Anggota mempunyai kesadaran tinggi akan pentingnya organisasi.
  5. Anggota faham tentang cara berorganisasi yang baik.
D. Indikator
Anggota dapat menjelaskan dan melaksanakan nilai-nilai keislaman ahlussunnah waljamaah dan organisasi NU sebagai wadah perjuangannya.
  1. memiliki sertifikat dan atau KTA
  2. Anggota dapat menjelaskan keberadaan dan perjuangan IPNU/IPPNU.
  3. Anggota aktif terlibat dalam kegiatan IPNU/IPPNU
  4. Anggota dapat mengartikulasikan gagasan dengan baik
  5. Nuansa persaingan sehat antar peserta/ kelompok untuk menjadi yang terbaik di MAKESTA semakin ketat, sehingga mereka berlomba untuk menjadi yang terbaik diantara peserta MAKESTA


E. Penyelenggara, Peserta dan Waktu
1. Penyelenggara
MAKESTA diselenggarakan oleh:
Pimpinan Ranting (PR) atau Pimpinan Komisariat (PK) dan atau diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa PR atau PK.
Jika Pimpinan Ranting atau Pimpinan Komisariat belum terbentuk atau tidak mampu, maka MAKESTA boleh diselenggarakan oleh PAC sampai tingkat PC.

2. Peserta
Peserta adalah siswa, santri, dan remaja yang berumur minimal 12 tahun
Peserta MAKESTA sebanyak-banyaknya adalah 40 orang dalam satu kelas, jika peserta lebih dari 40 orang penyelenggaraannya dibagi dalam beberapa kelas.

3. Waktu
Waktu penyelenggaraan MAKESTA adalah 13,5 jam efektif. Catatan: (minimal 2 hari) waktu menyesuaikan

E. JADWAL KEGIATAN
(disesuaikan dengan alur, bobot dan urutan materi. Kalau kegiatan lebih dari 2 hari, disarankan untuk menambah bobot materi ideologisasi dengan metode outdoor)
Share:

Saturday, November 26, 2011

DO'A AKHIR DAN AWAL TAHUN HIJRIYAH


DO'A AKHIR TAHUN
Dibaca setelah shalat Ashar pada akhir tanggal Zulhijjah sebanyak 3 kali :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِه وَسَلَّمَ()اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وِلَمْ تَنْسَهُ وَحَلِمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْ رَتِكَ عَلَى عُقُوْ بَتِيْ وَدَعَوْ تَنِيْ اِلَى التَّوْ بَةِ مِنْهُ بَعْدَ جَرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ() اَللَّهُمَ اِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ وَمَا عَلِمْتُهُ فِيْهَا مِمَّاتَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَاَسْئَلُكَ اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَاذَاالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ()اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَاكَرِيْمُ وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ() وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْ

Artinya:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang. Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan para sahabat beliau.
Ya Allah, segala amal yang aku lakukan pada tahun ini (yang telah silam), dari hal-hal yang Engkau larang kepadaku, lalu aku tidak bertaubat, sedangkan Engkau tidak meridhoinya, dan Engkau tidak melupakannya, dan menyantuni atasku
sesudah kekuasaan-Mu atas siksa-siksa padaku. Engkau menyeru aku bertaubat darinya sesudah aku lakukan durhaka pada-Mu. Perkenankanlah Engkau mengampuni aku. Dan segala apa yang aku lakukan di dalamnya dari hal-hal yang Engkau ridhoi, dan Engkau telah menjanjikan pahala kepadaku, maka aku memohon kepada-Mu ya Allah Dzat yang Mulia, hai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, hendaklah Engkau terima dariku, janganlah Engkau memutuskan harapanku dari rahmat-Mu hai Dzat Yang Mulia.
Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

DO'A AWAL TAHUN
Doa awal tahun ini dibaca setelah sholat Magrib pertama bulan Muharram, sebanyak 3 kali.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ اَنْتَ اْلاَ بَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلاَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرَمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلُ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ اَقْبَلَ اَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ اَوْلِيَائِهِ وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَاْلاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِى اِلَيْكَ زُلْفَى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ 
Artinya:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan para sahabat beliau.
‘Ya Allah,Engkaulah Dzat yang abadi, yang terdahulu,yang mula-mula. Atas AnugerahMu yang besar dan kemurahanMu yang dijadikan pegangan, inilah tahun baru telah datang. Kami mohon kepadaMu pemeliharaan selama tahun ini dari setan, sahabat2, dan pasukannya. dan pertolonganmu untuk melawan nafsuku ini yang selalu mengajak kepada kejahatan, serta sibukkanlah (aku) dalam melakukan amal yang dapat mendekatkan diriku kepadaMu sedekat-dekatnya, Wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemulyaan’.
Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Share:

Saturday, November 19, 2011

Berpelukan dan Berciuman ketika Berjumpa

Dalam kehidupan sehari-hari terjadi banyak sekali perkembangan. Baik dalam pengetahuan, teknologi maupun dalam gaya pergaulan. Perkembangan itu bagi sebagian orang dianggap hal yang lumrah tetapi bagi sebagian yang lain menjadi masalah. Diantara perkembangan gaya bergaul itu adalah berpelukan/berciuman saat berjumpa. Jika dulu cukup dengan bersalaman, kini perjumpaan antar teman biasa dibarengi dengan pelukan/ciuman.

Dalam hal ini, sebenarnya telah jelas bahwa berpelukan/berciuman dengan selain muhrim lain jenis (laki-perempuan) hukumnya adalah haram. Baik disertai syahwat maupun tidak. Akan tetapi muncul masalah jika seseorang memeluk/mencium putra-putri atau ponakan yang telah dewasa karena meluapkan rasa rindu setelah lama tak berjumpa. Maka dalam hal ini perlu ada perincian – tafshil.

Apabila pelukan/ciuman itu dilakukan sebagai rasa haru karena lama tak berjumpa disertai rasa kasih sayang dengan kerabat dekat tetapi ia telah dewasa hukumnya adalah makruh.
Sebuah hadits menerangkan:

دخلت مع أبى بكر رضي الله عنه أول ماقدم المدينة فاذا عائشة ابنته رضي الله عنها زضطجعة قد أصابتها حمى فأتاها أبو بكر فقال كيف أنت يابنية؟ وقبل خدها

Artinya: pernah aku masuk bersama Abu Bakar ra. Pada mula-mula kedatangannya ke Madinah, maka tiba-tiba Aisyah puterinya telah berbaring diserang peyakit demam. Maka datanglah Abu Bakar seraya berkata “bagaimana keadaanmu wahai anakku?” dan Abu Bakar sambil mencium pipinya.

Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya mencium pipi anak perempuannya yang telah dewasa. Meskipun hal ini makruh untuk dilakukan.
Dalam Syrah al-Adzkarun Nawawiyyah dalam Furuhatur Robbaniyyah bahwa

وأما المعانقة وتقبيل الوجه لغير الطفل ولغيرالقادم من سفر ونحوه فمكرهان نص على كراهتهما أبو محمد البغوي وغيرهرمن أصحابنا

Berpelukan dan mengecup muka sebagian selain kanak-kanak, dan bagi selain yang baru datang dari berpergian , maka adalah makruh hukumnya. Begitulah nash Al-Baghowi dalam menyatakan kemakruhannya.


قال رجل يارسول الله الرجل منا يلقى أخاه أوصديقه أينحنى له؟ قال: لا. قال أفيلتزمه ويقبله؟ قال: لا. قال: فيأخده بيده ويصافحه؟ قال : نعم. (رواه ابن مجه والترمذى)

Artinya: berkata seorang laki-laki ya Rasulullah. Jika seorang dari kita berjumpa dengan saudaranya atau temannya apakah sebaiknya ia membungkuk? Rasul menjawab ”tidak”, ataukah barangkali di pelukny atau kecupnya? Rasul kembali menjawab “tidak”, ataukah diambil tangannya dan disalaminya? Rasul baru menjawab “ya, betul” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Maka bagaimanapun perkembangan dalam sebuah pergaulan hendaknya memiliki pegangan yang dapat digunakan sebagai patokan. Sehingga kita sebagai seorang muslim dapat menjaga iman kita agar selalu meningkat. Karena sejatinya iman itu terkadang bertambah dan terkadang berkurang pula.
Share:

Wednesday, November 2, 2011

Mana Lebih Afdhal, Haji Kesekian Kali atau Bersedekah?

Seperti kita ketahui bersama bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana sholat dan zakat. Setiap orang yang sudah muslim yang mampu wajib melaksanakannya. Perhatikan Ali Imrah ayat 97 “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Haji sendiri fardhunya sekali dalam seumur hidup. Adapun haji selanjutnya sunnah hukumnya. Lantas lebih utama mana melaksanakan pengulangan dalam ibadah haji dengan amal atau shodaqah yang mempunyai fungsi sosial jauh lebih luas? semisal pembangunan madrasah, pembangunan jembatan atau mushalla.Memang banyak tipe manusia, bermacam rupa pola pikirnya. Ada yang telah mampu dan memenuhi syarat haji tetapi tidak juga melaksanakan kewajibannya. Ada yang –sebenarnya- belum memenuhi syarat dan belum mampu, tetapi memaksakan diri untuk melaksanakannya. Dan adalagi yang telah menunaikan haji tetapi merasa belum puas sehingga mengulang lagi melaksanakan haji untuk yang kedua kali atau yang kesekian kalinya.

Sedangkan orang yang berulang-ulang pergi haji juga bermacam-macam motifnya. Ada yang merasa haji pertamanya tidak sah sebab tidak memenuhi rukunnya, sehingga memerlukan pergi haji lagi guna mengqadhanya. Ada pula haji yang kedua untuk menghajikan kedua orang tuanya. Ada pula yang beralasan kurang puas dengan haji yang pertama. Jika alasannya ‘puas-tidak puas’ tentunya ini berhubungan dengan kemantapan di hati. Entah merasa kurang khusu’ atau memang merasa ketagihan dengan pengalaman bathin ketika haji pertama. Memang perlu dicatat banyak sekali haduts yang menerangkan keutamaan haji misalnya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة (متفق عليه)

Rasulullah saw bersabda: Umrah ke umrah itu menghapus dosa antar keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surge.(Muttafaq Alaih) dan masih banyak lagi hadits semacam ini.

Jika demikian, pertanyaa lebih afdhal mana menggunakan dana untuk mengulang haji dan amal yang bermanfaat umum? Jawabannya tergantung dari mana sudut pandangnya. Karena masing-masing memiliki dalil fadhilah, dan keduanya bisa dibenarkan. Namun hendaknya perlu dipertimbangkan satu kaedah fiqih yang berbunyi:

المتعدى أفضل من القاصر

Amal yang mberentek (manfaatnya meluas) lebih afdhal dari amal yang terbatas.

Artinya, amal yang jelas-jelas memiliki manfaat lebih luas lebih afdhal dari pada amal yang hanya memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu Imam Syaf’ir pernah berujar “menuntut ilmu lebih utama dari pada sholat sunnah”. Dengan kata lain menuntut ilmu yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, lebih utama dari pada sholat sunnah yang pahalanya hanya dirasakan untuk individu.

Meski demikian, namanya juga manusia sering kali terkalahkan oleh ego pribadinya. apalagi jika ia memiliki legitimasi dalil keagamaan ataupun dalil social yang lain. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ini adanya di dalam hati. Karena banyak sekali orang yang mementingkan diri sendiri. Yang penting dirinya masuk surga tak peduli saudara dan tetangga masuk neraka. Seperti halnya mereka yang tega kenyang sendiri sementara tetangga dan keluarga lain kelaparan.

Sumber
Share:

Hukum Berqurban dan Dagingnya

Qurban dalam terminologi fikih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. mulai terbitnya matahari pada tari raya Idul Adha (yaum an-nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Berqurban sangat dianjurkan bagi orang orang yang mampu. Karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadis, di antaranya yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah : “bahwa tidak ada amal anak manusia pada an nahr yang lebih dicintai Allah melebihi mengalirkan darah nenyembelih qurban”. Sebelum anjuran itu dalam Al-Quran, Allah SWT. juga sudah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk berqurban. Pesan ini termaktub dalam Al-Quran Surat AL-Kautsar ayat 2: Artinya: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah." (QS. Al-Kautsar: 2)

Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah (terikat), karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukun. Tidak semua hewan dapat digunakan, dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an'am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba atau kambing, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak pada daging.

Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakan secara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh) orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis dari shahabat Jabir sebagai berikut: "Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang dari kami." (Muttafaq 'alaih). Adapun qurban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja. (Al-Iqna', 277-278)

Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 28 : "Dan makanlah sebagian daripadanya (an'am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orag yang sengsara lagi faqir. " (QS. Al-Hajj: 28)

Begitu pula yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah memakan hati hewan qurbannya. Adapun bagi mereka yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya, maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya. Wallahu A’lam.

Sumber
Share:

Friday, September 23, 2011

SEJARAH LAHIRNYA ILMU NAHWU

Bangsa arab merupakan bangsa yang memilki nilai sastra yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumbul dan membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal.

Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab. Penyebab utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat Al Quran. Sehingga Akhirnya kaidah-kaidah bahasa arab disusun dan diberi nama nahwu.

Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abul Aswad Ad Dualy (67 H) dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali Rhadiyallahu ‘anhu.

١- التحفة السنية بشرح المقدمة الأجرومية – شيخ محمد محي الدين عبد الحميد – ص : ٦

واضعه – والمشهور أن أول واضع لعلم النحو هو أبو أسود الدوليُّ ، بأمر أمير المؤمنين عليّ بن أبي طالب رضي الله تعالى عنهما !.

٢- الكواكب الدرية على متمّة الأجروميّة- الشيخ محمد بن أحمد بن عبد الباري الأهدَل ص:٢٥ – دار الكتب العلمية.

وسبب تسمية هذا العلم بالنحو ما روي أن عليًا رضي الله عنه لما أشار على أبي الأسود الدولي أن يضعه قال له بعد أن علمه الاسم والفعل والحرف : الاسم ما أنبأ عن المسمى ، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى ، والحرف ما أنبأ عن معنى في غيره والرفع للفاعل وما اشتبه به والنصب للمفعول وما حمل عليه والجر للمضاف وما يناسبه انح هذا النحو يا أبا الأسود فسمي بذلك تبركاً بلفظ الواضع له

Sejarah munculnya Ilmu Nahwu ini pada ketika zaman Abul Aswad Ad-Dauli datang kerumah puterinya di tanah Basroh, (pada masa sekarang sebuah negeri di negara Iraq). Pada saat itu puterinya mengatakan يَا أَبَتِ مَا اَشَدُّ الْحَرِّ, dengan membaca Rofa’ pada lafadz اَشَدُّ dan membaca jar pada lafazh الْحَرّ , yang menurut bahasa yang benar مَا nya dilakukan sebagai Istifham yang artinya: “Wahai Ayahku ! Kenapa sangat panas?

Dengan spontan Abul Aswad menjawap شَهْرُنَا هَذَا (Wahai Puteriku, bulannya memamg musim panas).

Mendengar jawapan Ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi khabar kepadamu atas kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan مَا اَشَدَّ الْحَرَّ , dengan membaca fathah pada اَشَدَّ dan membaca Nashob الْحَرَّ ).

Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:

اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَيَخْرُجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ عَلَى هَذَا النَّحْوِ

Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk sesamanya ini”.

Kemudian Abul Aswad Ad-Dauli mengarang bab Istifham dan Ta’jjub, dan Di kisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan :

إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”


Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rosak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,

إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Kerana mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rosak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Lalu beliau mengarang bab Athof dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu dihaturnya pada Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali sehingga sampai mencukupi ilmu Nahwu yang mencukupi. Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu Nahwu pada haqiqotnya adalah Khalifah Saidina ‘Ali, yanag melaksanaakannya adalah Abul Aswad Ad-Dauli. Pada pekembnagan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu dari Abul Aswad, diantaranya Maimun Al-Aqron, kemudian generasinya Abu Amr bin Ala’, kemudian generasinya Imam al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam Al-Kisa’I (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Share:

Saturday, September 3, 2011

Kesaksian Mustahil Rukyat Saudi Syawwal 1432

Oleh : Mutoha Arkanuddin

Ramadhan 1432 H telah berlalu dengan berbagai kesimpulan mengenai datangnya awal Syawwal 1432 H. Di Indonesia setidaknya terjadi beda penentuan awal Syawwal tahun ini dalam rentang 4 hari. Jamaah Naqsabandiyah Padang merayakan pada 29 Agustus, Muhammadiyah pada 30 Agustus, Pemerintah dan beberapa ormas seperti NU, Persis, PUI dan Al Irsyad tanggal 31 Agustus dan Jamaah Islam Aboge merayakannya pada 1 September.

Sementara di tingkat global penentuan 1 Syawwal hampir serentak dirayakan oleh negara-negara muslim dengan kebanyakan mengikuti keputusan Saudi yang menetapkan 1 Syawwal jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011 kecuali beberapa negara seperti Indonesia, Brunei Darussalam, Oman, Pakistan, Banglades, Libya, Afrika Selatan, Trinidad, Tobago, Inggris dan Australia. Penetapan Saudi tersebut konon berdasarkan pada laporan rukyat hilal pada Senin, 29 Agustus lalu oleh beberapa orang saksi yang telah disumpah padahal saat itu kedudukan hilal baru setinggi 0,5° di atas ufuk saat Matahari terbenam.

Tidak jemu-jemunya saya selalu mempermasalahkan "klaim rukyat Saudi" ini selama saya belum mendapat jawaban mengenai "misteri" ada apa sebenarnya yang terjadi dengan kriteria rukyat hilal di Saudi terlepas masalah perbedaan yang juga nyata-nyata terjadi di dalam negeri. Kaidah rukyatul hilal yang diterapkan otoritas kerajaan Arab Saudi seolah membodohi kita setiap tahunnya dengan "laporan-laporan palsunya" .

Keputusan Saudi menerima 'klaim rukyat' dalam kondisi hilal 'not possible sighting' menurut kriteria sains ini memang sudah bisa diprediksi sebelumnya dan itu bukan kali pertama Mahkamah Agung Saudi bertindak 'tidak ilmiah' seperti ini. Kontroversi tehadap keputusan Saudi yang kerap kali menerima kesaksian hilal saat 'not possible sighting' atau bahkan hilal masih di bawah ufuk memang sudah lama menjadi bahan diskusi para pakar falak dunia di forum Islamic Crescent Observation Project (ICOP) yang berpusat di Jordania dan Forum Moonsighting Committee Worldwide (MCW) yang berpusat di USA. Sementara di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan banyak memiliki pakar falak ini justru kasus ini tidak begitu populer.

Pada prinsipnya para pakar tersebut menyayangkan sikap otoritas Saudi yang hanya mendasarkan pada pengakuan seorang saksi apalagi saksi tersebut ternyata hanya orang awam (badui) yang notebene bukan petugas resmi dari kerajaan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Bahkan setiap laporan saksi tanpa pernah dilakukan klarifikasi dan uji materi tentang validitas laporan tersebut.

Para pakar tersebut juga sempat membuat Petisi yang disampaikan langsung kepada pihak kerajaan mengenai kejanggalan tersebut. Lucunya lagi tim resmi yang telah dibentuk oleh kerajaan yang melakukan rukyat di beberapa lokasi dan dilengkapi teleskop canggih yang mampu melakukan tracking secara akurat terhadap posisi Bulan dan perlengkapan pencitraan hilal menggunakan CCD itu justru tidak pernah dipercaya laporannya yang menyatakan hilal tidak terlihat. Menurut data yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, setidaknya selama 30 tahun terakhir, khusus untuk Zulhijjah saja dari 30 kali laporan rukyat ternyata sekitar 75% nya atau 23 laporan rukyat dinyatakan mustahil secara ilmiah dan 7 laporan rukyat diterima.

Penentuan awal bulan dalam kaitannya dengan ibadah seperti Ramadhan, Syawwal dan Hijriyah di Saudi memang menggunakan rukyat sbg dasarnya, sementara hisab hanya digunakan untuk pembuatan kalender sipil untuk kepentingan kenegaraan dan kemasyarakatan yang disebut sebagai Kalender Ummul Qura. Namun itulah yang berlaku di sana 'hilal syar'i' bukan 'hilal falaki'. Entah sampai kapan Saudi akan bertahan dg tradisi ini. Di zaman hitungan yg super akurat sekarang ini hisab justru menjadi sesuatu yang "qath'i" karena sudah terbukti akurasinya, sementara hasil rukyat lebih bersifat "dhon" karena sangat berpeluang terjadinya 'salah identifikasi terhadap obyek yg disebut sebagai hilal saat rukyat entah karena faktor psikologis maupun faktor lingkungan. Lalu kenapa Saudi kerap menerima "klaim rukyat" yang sebenarnya sudah diketahui bahwa itu mustahil? Inilah teka-tekinya. Beberapa kemungkinan jawaban sebenarnya sudah saya dapatkan, namun saya belum berani tulis di sini sebab masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Namun demikian tetap saja bagi saya ini masih "misteri". Apakah memang disengaja?

Sumber Klik di Sini

Share:

Thursday, August 18, 2011

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)



1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)

Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2.Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.

Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

Sumber Klik di Sini
Share:

Sunday, August 14, 2011

Tentang Lailatul Qadar

Sudah sering kita dengar istilah Lailatul Qadar, bahkan selalu lekat dalam ingatan. Namun demikian, nyatanya kita tidak akan pernah mengenal hakikat Lailatul Qadar itu sendiri, lantaran masalahnya amat ghaib. Pengetahuan kita terbatas hanya pada apa yang telah ditunjukkan di dalam berbagai nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta interpretasinya.

Secara etimologis, “lailah” artinya malam, dan “al-qadar” artinya takdir atau kekuasaan. Adapun secara terminologis, dapat kita coba dengan cara mengamati ayat berikut ini :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malm kemuliaan (Lailatul Qadar)” (QS Al-Qadar (97):1)


Dari pernyataan bahwa Al-Qur’an tersebut diturunkan pada saat Lailatul Qadar, dapat kita tangkap pengertian, yakni; pertama , Lailatul Qadar merupakan dari suatu malam, saat diturunkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Walhasil, Lailatul Qadar itu terjadi hanya satu kali, tidak sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi keagungan dan keutamaannya itu diabadikan oleh Allah SWT untuk tahun-tahun berikutnya. Tegasnya, Lailatul Qadar yang ada sekarang ini, hanyalah semacam hari peringatan yang memiliki berbagai keistimewaan yang sangat luar biasa.

Kedua, Lailatul Qadar merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan, yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al Qur’an secara keseluruhan.

Kedua pengertian tersebut di atas, merupakan hasil analisa yang boleh jadi dapat diterima oleh semua pihak, lantaran sama sekali tidak mengingkari keutamaan Lailatul Qadar. Sedangkan hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sementara lailatul Qadar itu sendiri, dalam sebuah ayat dinyatakan sebagai Lailah Mubarakah (ةalam kebaikan).

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.”(Q.S Ad Dukhaan (44):3)

Dalam masalah ini, para Muffasir menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu adalah saat diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzhke Baitul’Izzah, sebelum diwahyukan kepada Rasulullah SAW secara berangsur. Olah sebab itu, tidaklah dapat disamakan antara Lailatul Qadar dengan Nuzulul Qur’an atau turunnya ayat pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

Betapa mulia dan begitu istimewanya Lailatul qadar itu, sebagai rahmat dan nikmat Allah SWY bagi seluruh ummat Muhammad. Sehingga tak satupun dari kita yang tak suka jika mampu meraihnya. Dan wajar pula, jika malam jatuhnya Lailatul Qadar itupun selau dipertanyakan, bahkan nyaris selalu menimbulkan perselisihan pendapat.

Kapan Lailatul Qadar?

Menurut suatu pendapat ; Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ke 27 setiap bulan Ramadhan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا، فَلْيَتَحَرِّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Siapapaun mengintainya maka hendaklah mengntainya pada malam ke dua puluh tujuh.” (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Umar)

Sementara menurut pendapat yang lain; perintah Rasulullah SAW untuk mengintai pada malam ke 27 itu, bukan merupakan suatu kepastian bahwa Lailatul Qadar akan terjadi pada malam itu. Akan tetapi hanya sebagai petunjuk, bahwa pada malam itu memang kemungkinan besar akan terjadi. Terbukti dengan permyataan Rasulullah SAW sendiri dalam hadist yang lain.

أخْبَرَنَا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن لَيْلَةِ الْقَدْرِقال : هي في رمضان في العشر الأواخر ، في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخِرِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah SAW telah memberitakan kepadaku tentang Lailatul Qadar. Beliau bersabda: “Lailatul Qadar terjadi pada Ramadhan; dalam sepuluh hari terakhir. Malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan atau ,malam terakhir.”

Adapun yang dimaksud dengan malam terakhir dalam hadts di atas, tentunya jika sebulan Ramadhan itu hanya 29 hari. Sehingga malam yang ke 29 otomatis merupakan malam terakhir.

Dengan demikian, menurut kami pendapat yang kedua ini jauh lebih dasarnya ketimbang pendapat pertama. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa; jatuhnya Lailatul Qadar itu sama sekali tak dapat ditentukan secara pasti. Lantaran perupakan rahasia Allah SWT.

Lailatul Qadar yang agung itu—sebagaimana jawaban terdahulu sangantlah ghaib malam jatuhnya. Namun demikian, Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kepada ummatnya bahwa jatuhnya itu di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari Ramadhan terakhir. Maka tidak mustahil, jika diantara hari-hari itu setiap tahunnya akan berubah-ubah, sebagaimana dapat dicerna pula dari berbagai hadits yang berbeda-beda penjelasannya.

Kemungkinan berubah-ubah tersebut, jika dimaksudkan bahwa Lailatul Qadar itu merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan. Adapun jika dimaksudkan bahwa, Lailatul Qadar hanya semacam hari peringatan, maka tidak mungkin jatuhnya Lailatul Qadar itu akan berubah, bahkan sampai kiamat nanti.

Selain itu, nampaknya perlu kita sadari pula, bahwa tidak adanya kepastian pada malam tertentu tentang jatuhnya Lailatul Qadar ini, justru banyak membawa hikmah yang antara lain, untuk mandapatkan keutamaan dan berkah dari saat turunnya Lailatul Qadar itu, kaum Muslimin tidak hanya dengan bertekun ibadah semalam saja. Akan tetapi harus selama 10 malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW beserta keluarganya.

------------------------

Tidak Mustahil, jika Lailatul Qadar yang sangat didambakan namun tak dapat ditentukan tanggal pastinya itu sering diamati oleh banyak orang. Sehingga tentu saja setiap pengamat membutuhkan data dan informasi tentang tanda-tanda jatuhnya.

Dalam sejarah, salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama ’Ubal bin Ka’ab telah bersumpah bahwa ia pernah menyaksikan Lailatul Qadar itu. Sehingga ia mampu menjelaskan tanda-tandanya, sebagaimana dalam pernyataanya:

وَأمَارَتُهَا أنْ تَطْلُعَ الشَّمْسَ فِيْ صَبِيْحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا

”Dan salah satu tandanya adalah, pada pagi harinya cahaya matahari terbit memutih atau tidak bersinar seperti biasa.”(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tarmizi, dari Ubai bin Ka’ab)

Tanda ini hanya diketahui setelah Lailatul Qadar terjadi. Jadi, sama sekali bukan tanda akan jatuhnya. Sedangkan tanda-tanda ketika sedang terjadi Lailatul Qadar, menurut sebuah keterangan, adalah malam terasa begitu hening cuaca cerah, langit bersih, tak ada angin dan bebas dari mendung.

Namun bisa dipastikan Lailatul Qadar yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan itu, merupakan waktu mustajab untuk berdo’a. Jika seseorang telah yakin bahwa malam itu sedang terjadi Lailatul Qadar, maka hendaknya ia membaca do’a sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah, ketika beliau ditanya.

اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا

”Wahai Allah Sesungghnya Engkau maha pengampun serta suka mengampuni, maka ampunilah aku” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tarmizi dari’ Aisyah)

Adapun do’a sebagaimana dalam hadits tersebut di atas, merupakan do’a yang sekali diucapkan ketika seorang telah yakin bahwa, malam itu adalah Lailatul Qadar. Jadi, bukan do’a yang harus dibaca berulangkali semalam suntuk ketika diyakini sebagai Lailatul Qadar.

Lailatul Qadar yang penuh dengan keagungan, berkah dan hikmah itu, merupakan kesempatan emas bagi umat Muhammad untuk meraih keutamaan ibadah yang sangat istimewa dengan modal ketentuan maksimal. Adapun keutamaannya ibadah yang semalam itu melebihi pahala ibadah seribu bulan.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

”Tahukah engkau, apakah Lailatul Qadar Itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (Q.S Al Qadr(97):2-3)

Selain itu, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang bertekun ibadah pada saat Lailatul Qadar hanya karena Allah SWT, dengan hati senang serta selalu mengahrap ridha-Nya, maka akan diampuni dosa-dosanya.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Siapapun yang ibadahnya pada saat Lailatul Qadar karena iman serta mengharap ridho Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Pengertian ibadah sebagaimana dalam hadits di atas, memiliki makna yang sangat luas. Yakni mencakup segala macam bentuk ibadah; shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, i’tiqaf, Belajar ilmu agama dan lain sebagainya.

Cara Rasulullah SAW Menghadapi Lailatul Qadar

Rasulullah SAW, sebagai teladan yang terbaik, tentu saja akan jauh lebih sempurna amal ibadahnya dari pada umatnya. Dan dalam manghadapi Lailatul Qadar itu, beliau selalu membangunkan keluarganya untuk bertekun ibadah, agar supaya mendapatkan kehormatan yang teramat istimewa dari Allah SWT. Sedangkan hal ini dilakukannya pada setiap 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dengan harapan dapat terjaring Lailatul Qadar yang didambakannya.

كَانَ إذَا دَخَلَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرِ أَحْيَ الَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرِ

”Nabi SAW ketika telah masuk sepuluh hari terakhir maka beliau menghidupkan malam itu dengan membangunkan seluruh anggota keluarganya serta mengencangkan sarungnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ’ Aisyah)

كَانَ رسول الله صلى الله عليه و سلم يُوْقِظُ أَهْلَهُ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَيَرْفَعُ الْمِئْزَرِ


”Rasulullah SAW membangun keluarganya pada sepuluh hari terakhir dan menyingsingkan sarungnya.” (HR. Tarmizi, dari Ali bin abi Thalib)

Yang dimaksud dengan mengencangkan dan atau menyingsingkan sarungnya sebagaimana termaktub dalam kedua hadits tersebut di atas, adalah segera melaksanakan kegiatan ibadah, serta menjauhi isterinya.

Memang, banyak orang yang tahu persis keutamaan serta keistimewaan bergiat ibadah pada saat lailatul Qadar. Namun ternyata hanya sedikit orang yang yang mau berusaha melaksanakan ibadah tersebut supaya dapat meraih keutamaannya. Orang yang mengabaikan kesempatan ibadah dalam Lailatul Qadar, sama artinya dengan membuang kesempatan emas yang sangat berharga, serta menjauhkan dirinya dari segala kejahatan.

إنَّ هَذاَ الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيْهِ لَيْلَةً خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرَمَهَا فَقَدْ حَرَمَ الْخَيْرَ كًلُّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إلَّا مَحْرُوْمٌ

”Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang kepadamu, dan di dalamnya ada semalam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja terhalang darinya maka terhalang dari segala kebaikan dan tidaklah terhalang darinya kecuali orang yang terhalang.” (HR. Ibnu Majah, dari Anas bin malik)

Maksud dari hadits tersebut di atas yakni, jika seorang tidak mempedulikan ibadah dengan pahala yang amat besar pada Lailatul Qadar ini, maka secara logis sama artinya ia akan tertarik dengan ibadah di saat lain, yang tentu lebih rendah imbalan pahalanya. Dan alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.

Sumber Klik di sini
Share:

Monday, August 8, 2011

Lupa Niat Berpuasa Ramadhan

Niat adaah I’tikad tanpa ragu untuk melaksanakan amal. Dalam hal puasa Ramadhan , kapan saja terbersit dalam hati di waktu malam bahwa besok adalah Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat (al-Fiqh al-Islami, III, 1670)

Terus bagaimanakah jika terlupakan membaca niat untuk puasa Ramadhan pada malam hari, padahal malam itu juga makan sahur. Apakah secara otomatis sahur dapat dianggap sebagai niat, mengingat sahur sendiri dilakukan karena ingin berpuasa esok hari?

Hal yang demikian ini sering terjadi. Tak jarang menimbulkan keraguan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khatara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami, III, 1678).

Sedangkan menurut mazdhab lain ada keterangan tambahan. Jika sahur dilakukan pada waktunya (lewat tengah malam), maka tanpa niatpun dinilai cukup. Tetapi jika makan dan minum diluar waktu sahur (sebelum tengah malam) maka diperlukan niat berpuasa untuk esok hari.
Masalahnya, seringkali seseorang makan sahur dalam keadaan belum sadar. Mungkin karena terlalu kantuk ataupun makan sambil tidur. Karena dikhawatirkan sama sekali tidak terbersit di hatinya keinginan untuk berpuasa. Maka niat berpuasa menjadi wajib.

Niat adalah ruh dalam amal. Suatu perkejaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada niatnya. Sebagaimana dimaksudkan dalam hadits:

إنما الأعمال بالنيات, وإنمالكل امرئ مانوى

Sahnya suatu amal bergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari)
Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati dan memperhatikan bagaimana agar niat kita sah. Untuk keabsahan niat menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, niat dilakukan pada waktunya, yaitu antara maghrib sampai menjelang shubuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. Dalam kitab-kitab fiqih ini lazim disebut tabyitun niyyah (menginapkan niat).

Kedua, menentukan niat tersebut untuk puasa wajib, bukan sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib.

Ketiga, memastikan niat (al-jazmu bin niyyah) untuk satu jenis puasa saja. sebagai contoh, jika pada tanggal 29 Sya’ban seorang berniat untuk berpuasa besok, dengan catatan jika besok sudah masuk bulan Ramadhan maka puasanya karena Ramadhan. Dan jika belum, maka puasanya dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Maka niat semacam ini tidak mencukupi syarat puasa yang manapun. Artinya, niat semacam itu tidak syah baik bagi puasa Ramadhan maupun Sunnah.

Keempat, niat dilakukan setiap hari sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta’addudun niyah bi ta’addudil ayyam). Satu kali niat hanya berlaku untuk satu hari puasa, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa yang lain, seperti hanya satu shalat (shubuh, misalnya) adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat lain (Dzuhur, misalnya). Buktinya, sah tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya puasa di hari yang lain.

Ringkasnya, cukup sebagai niat jika setiap hari antara Maghrib sampai menjelang Shubuh terdapat kesadaran dan maksud untuk melakukan puasa Ramadhan besok.

Disarikan dari Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci 2003
Sumber
Share:

Wednesday, July 20, 2011

DOWNLOAD PD-PRT IPNU IPPNU 2009


PD-PRT IPNU IPPNU
HASIL
KONGRES XVI IPNU
Ponpes Al-Hikmah Brebes, 19-24 Juni 2009
Silakan
Share:

Saturday, July 16, 2011

PENGURUS PAC IPPNU KEC. WONOKERTO 2011-2013

STRUKTUR KEPENGURUSAN
PIMPINAN ANAK CABANG
IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA
KEC. WONOKERTO KAB. PEKALONGAN
PERIODE V MASA BAKTI 2011-2013

Penanggung Jawab
MWC NU Kec. Wonokerto

Pembina
Daryati ( Pecakaran )
Eka Riyanti ( Sijambe )
Masyquro ( Sijambe )

BADAN PENGURUS HARIAN
Ketua umum : Ummu Wasilah (Api-a pi)
Ketua I : Maysaroh ( Tratebang )
Ketua II : Zubaidah ( Bebel )

Sekretaris : Siti Thoharoh ( Rowoyoso )
Wakil Sekretaris : Lulu Arifatul Khofiyah (Rowoyoso)

Bendahara :Nur Ifah (Sijambe)
Wakil Bendahara : Khusnul Khotimah ( Wonokerto kulon )


DEPARTEMEN - DEPARTEMEN

Dept. Pembinaan Kader dan Organisasi
Zahrotul Aliyah ( Pecakaran ) *Koordinator
Khomsiyah ( Bebel )
Rizghotul Munawaroh (Api-api)
Rosy Jakatria (Rowoyoso)
Nur Khamida (Tratebang)

Dept. Pengembangan seni dan Olah Raga
Nur khikmah ( Rowoyoso ) *Koordinator
I’anah (Api-api)
Fasikhatul Lisaniah (Sijambe)
Khusnah ( Tratebang )
Munazillah (Pesanggrahan)

Dept. Dakwah dan Pengembangan Lingkungan
Tuslikhatun Khasanah (Rowoyoso) *Koordinator
Dewi Nastiti ( Tratebang )
Sri Herni ( Semut )
Yulekha (Pesanggrahan)
Munawaroh (Werdi)


LEMBAGA - LEMBAGA
Lembaga Advokasi Pelajar
Susi Ernawati ( Wonokerto Wetan )
Giarti Wahyu S, ( Pesanggrahan ) *Koordinator
Munasifah (Api-api)
Dyah Naila Z, ( Werdi )
Fitri (Semut)

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Rohmatun Ni”ami ( Wonokerto Wetan )
Fitri (Pecakaran) *Koordinator
Khotimatul Khusna (Pecakaran)
Tri Utami (Wonokerto Kulon)
Uswatun Khasanah (Pecakaran)

Lembaga Pers dan Jurnalistik
Sutiah ( Sijambe ) *Koordinator
Atika Wati (Rowoyoso)
Rokhafifah ( Pesanggrahan)
Titik Erliyah (Tratebang)
Rif’atin (Sijambe)

Lembaga Korps Kepanduan Putri
Vitriana ( Bebel ) *Koordinator
Anas Thoharoh (Werdi)
Nikmah ( Sijambe )
Misrokhatun Janah (Werdi)
May Arofah (Semut)
Share:

PENGURUS PAC IPNU KEC. WONOKERTO 2011-2013

STRUKTUR KEPENGURUSAN
PIMPINAN ANAK CABANG
IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA
KEC. WONOKERTO KAB. PEKALONGAN
PERIODE V MASA BAKTI 2011-2013


Penanggung Jawab
MWC NU Kec. Wonokerto

Pembina
Abdul Basid S.Pd.i ( Api-api )
Muiz abdillah
S.Pd.i (Pecakaran)
Anang ghufron (Api-api)


BADAN PENGURUS HARIAN

Ketua umum : Muhammad Rosyidin (Pesanggrahan)
Ketua I : Muttaqin (Pecakaran)
Ketua II : Adib Ahkami (Sijambe)

Sekertaris umum : Saiful Bahri (Sijambe)
wakil sekretaris : Zainal faizin (Bebel)

Bendahara : Abdul Aziz (Pesanggrahan)
Wakil Bendahara : Sunarso (Rowoyoso)



DEPARTEMEN - DEPARTEMEN

Dept. Pembinaan Kaderisasi dan Pengembangan Organisasi
Slamet Nurochman (Sijambe )
*Koordinator
Tarjo ( Rowoyoso )

Nur rohman ( Werdi )

Fakhruroddin (Pesanggrahan)


Dept. Pengembangan Budaya dan Olah Raga
Zaenuri ( Sijambe ) *Koordinator
Eko setiawan ( Rowoyoso )
Cut nyak dien (Sijambe )
Nur Ikhsanudin ( Tratebang )

Dept. Dakwah dan Pengembangan Lingkungan
Nur Fattah (Sijambe) *Koordinator
Yusuf Azhari ( Werdi )
Andre ( Semut )
Sucipto ( Pecakaran)


LEMBAGA - LEMBAGA

Lembaga Advokasi Pelajar
Muhammad Fauzi (Sijambe) *Koordinator
Fasikhul Lisan (Rowoyoso)
Herlambang (Rowoyoso)
Munif Faisal ( Api-api )

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Hambali Ahmad ( Api-api ) *Koordinator
Aqwam Thoyyibi ( Api-api )
Bambang ( Wonokerto kulon )
Akhwan Setiawan ( Api-api )

Lembaga Pers dan Jurnalistik
Arkham Ali Firdaus ( Bebel ) *Koordinator
Ibnu Khoir ( Api-api )
Mubarizi ( Werdi )
M.Afif ( Werdi )

Lembaga Corps Barisan Pelajar
Didin Miftakhudin ( Pecakaran ) *Koordinator
Roidin ( Api-api )
Saiful Bahri ( Pesanggrahan )
Agus hakim ( Tratebang )
Share:

Wednesday, July 13, 2011

Konstruksi Nalar dan Perkembangan Ahlus Sunah Wal Jamaah

Menilik sejarah umat Islam di masa akhir khilafah dan masa-masa setelahnya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kekuatan riil yang berkembang dan mengakar melalui perjuangan di luar lingkaran pertikaian. Saat konflik mulai merusak berbagai sendi kehidupan umat, sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyikapi setiap persoalan, dan bersikap tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.

Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, terdapat beberapa sahabat yang bersikap netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin (ahli hadis), fuqaha’ (para ahli fikih), mufassirin (para ahli tafsir), dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam dan mengakar kuat sebagai kekuatan riil dalam ideologi, syariat, maupun bidang-bidang yang lain.


Pada kurun berikutnya, potret ‘perjuangan tradisional’ serupa dikembangkan oleh Al-Asy’ariy dalam menegakkan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana telah terdahulu, awalnya Al-Asy’ariy belajar kepada Al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah dan sementara waktu, Al-Asy’ariy menjadi penganut Mu’tazilah, sampai tahun 300 H. Dan setelah beliau mendalami paham Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba’i dalam berbagai masalah, terutama masalah Kalam. Perdebatan itu membuat Al-Asy’ariy meragukan konsep akidah Mu’tazilah, dan pada masa berikutnya mengikrarkan dirinya keluar dari Muktazilah, dan berjuang memantabkan Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Al-Asy’ariy membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (’aql). Dengan ini beliau berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu’tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy’ariyah inilah Mu’tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya, termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Al-Asy’ari dalam melemahkan Mu’tazilah bisa dimaklumi, karena sebelumnya Al-Asy’ariy pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul seluk beluk logika Mu’tazilah dan dengan mudah menguasai sisi dan titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun eksistensinya mulai diakui setelah keberhasilannya memukul Mu’tazilah dan komitmennya kepada akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Di masa pemerintahan Islam dikuasai Bani Abbasiyah, terjadi perdebatan sengit antara para ulama dan tokoh-tokoh teologi yang ditimbulkan akibat masuknya nilai-niai filsafat non Islam terutama dari barat (Yunani). Karena akar filsafat dan teologi mereka berangkat dari mitos tanpa dasar agama samawi yang kuat. Hal ini menimbulkan gejolak di dunia Islam dan berubah menjadi pertentangan tajam. Dalam tubuh umat Islam, pertentangan ini terkonsentrasi pada tarik menarik antara dua kutub utama yaitu ahlussunnah yang mempertahankan paham berdasarkan nash (naql) dan Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash (naql) dan bertumpu kepada akal semata. Karena inilah mereka disebut dengan kelompok rasionalis.

Memanfaatkan pemerintahan yang didominasi oleh pengagum filsafat, Muktazilah pada akhirnya berhasil mempengaruhi penguasa saat itu untuk mememaklumat faham Muktazilah sebagai akidah resmi negara. Muktazilah berhasil memboncengi kekuasaan khilafah Abbasiyah semenjak khalifah al-Ma’mun hingga kepemimpinan al-Mutawakkil. Mu’tazilah yang memegang kendali kekuasaan mencoba melakukan upaya pembatasan gerak dan pencekalan terhadap lawan-lawan mereka. Memanfaatkan isu-isu akidah mereka berupaya melikuidasi dan melenyapkan tokoh lawannya. Perlawanan ‘islam tradisional’ berbasis Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak bisa terelakkan, dan mulai menghebat pada saat barisan Ahlus Sunnah dikomandani oleh dua tokoh ulama yang cukup berpengaruh, Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Mereka dalam hal ini menjadi kutub kekuatan madzhab akidah yang sedang mengalami gempuran hebat dari kelompok rasionalis yang saat itu memang sedang di atas angin.

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Argumentasi dalil nash (naql) tidak begitu efektif digunakan sebagai alat penangkal argumen, karena lawan sejak semula sudah mengesampingkan dan menafikan dalil nash. Dapat kita saksikan sistematika hujjah Al-Asy’ary dan Al-Maturidi menyajikan kombinasi antara dalil aqli dan naqli. Pada masanya, metode ini sangat efektif untuk meredam argumen lawan.

Tentu tidak tepat membandingkannya dengan zaman yang berbeda. Karena kebutuhan dan bahasa umat tiap masa selalu berkembang dinamis. Mereka yang tidak memahami sejarah, atau bahkan tidak memahami konstruksi pemikiran Al-Asy’ary dan Al-Maturidi hanya memotret sisi rasionalisasi dalam kitab-kitab Al-Asy’ary dan Al-Maturidi maupun pengikutnya. Mereka yang tidak memahami duduk permasalahan tergesa-gesa menuduh bahwa madzhab teologi ini sesat. Padahal di masanya, mayoritas ulama berada di pihak Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena mereka menyaksikan pertarungan dan pergulatan pemikiran antara Ahli Sunnah dan kelompok rasionalis.

Dan secara de facto, mazhab akidah Asy’ariyah dan Al-Maturidi memang madzhab yang paling banyak dianut umat Islam secara tradisional dan turun temurun di dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam dan sebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatu dengan detail pemikiran Asy’ari, belum tentu semuanya menyepakati.

Sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk madzhab akidah al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-‘Id, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-‘Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi’i, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, As-Suyuti dan lain sebagainya. Dari kalangan mufassirin mutaqaddimin, ada Al-Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn ‘Athiyah, Abu Hayyan, Fahr Ad-Din Ar-Razi, Al-Baghawi, Abu Laits, Al-Wahidi, Al-Alusi, Al-Halabi, Al-Khathib As-Sarbini. Mufassirin muta’akkhirin diwakili, Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ibn ‘Asur dan lain-lain. Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi ‘Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.

Para ulama pengikut mazhab Hanafiyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Asy’ariyah. Mayoritas universitas Islam terkemuka di dunia menganut paham Al-Asy’ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas lainnya.

Sehingga tentunya mereka yang menilai Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah sesat perlu berpikir ulang, karena dengan menganggap sesat mereka, tentu saja kita perlu mengeluarkan para ulama di atas dari garis Islam, begitu juga universitas Islam dan para pemimpinnya. Bahkan semestinya mayoritas umat Islam sepanjang masa pun harus dianggap sesat dan keluar dari garis Islam. Tentu saja ini tidak sederhana dan bukan persoalan mudah. Kesimpulan obyektifnya, tidak mungkin dipungkiri bahwa Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa akidah ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dan diamini serta diterima dengan sukarela oleh mayoritas umat Islam secara turun temurun.

SUMBER



Share:

Pelopor Ahlussunnah wal Jamaah dan Akidahnya

Sayid Muhammad bin Muhammad al-Husaini atau yang lebih dikenal dengan As-Syaikh Murtadla Az-Zabidi dalam kitab beliau Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin mengatakan:

إذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتردية.
Artinya: “Jika disampaikan kalimat Ahli Al Sunnah Wal Jama’ah secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah golongan al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah.”

As-Syaikh Ahmad Bin Musa al-Khayali dalam Hasiyah Syarh al-Aqaid karya Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, juga mengatakan:

الاشاعرة هم اهل السنة والجماعة
Artinya: “Pengikut Abu Hasan al-Asy’ari semuanya adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.”

Artinya, ketika disampaikan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka ucapan tersebut memastikan Asy’ariyyah sebagai bagian dari golongan tersebut. Beliau menambahkan, termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyyah yang masyhur di wilayah Khurasan, sekitar Afganistan, Irak, Syam serta mayoritas daerah berpenduduk muslim. Sedangkan yang masyhur di daerah seberang Nahri Jaihun, yaitu daerah Khawarizm di Afganistan, Ahlussunnah di sana tergolong pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Komentar serupa juga disampaikan Imam Al-Kastalani.


Abu Hasan Al Asy’ari pada mulanya berguru ilmu kalam dari Abu Ali Al Juba’i, salah satu tokoh besar Mu’tazilah. Kemudian melalui sebuah proses panjang, beliau mulai mendapatkan sisi rapuh dari akidah Mu’tazilah. Setelah mendapatkan petunjuk Allah untuk memahami terang kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Al Asy’ari menjadi tokoh pertama yang menentang Mu’tazilah. Beliau dengan terang-terangan berdiri di muka kaum muslimin di atas mimbar masjid Basrah pada hari Jumat, menyampaikan dengan lantang khutbahnya sebagai berikut:

“Barang siapa telah mengenal diriku, mereka telah mengetahui akidahku, dan bagi yang belum mengenalku, perlu Anda semua ketahui bahwa saya adalah seseorang yang dulu mengatakan al Quran adalah makhluk, Allah tidak dapat disaksikan dengan penglihatan di akhirat nanti dan bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Dan ketahuilah, saya telah bertaubat dari akidah Mu’tazilah tersebut dan bertekad untuk menentang akidahnya. Wahai umat sekalian, selama beberapa waktu ini aku mengasingkan diriku untuk menelaah dan mencoba merenungkan dalil-dalil, namun tidak ada yang menjadikan diriku mantap. Kemudian aku meminta petunjuk Allah, hingga Allah memberiku petunjuk dengan keyakinan yang aku tuangkan dalam kitabku ini. Dan aku melepas akidahku selama ini, sebagaimana aku melepas bajuku ini.” Kemudian beliau melepas dan membuang bajunya dan menyerahkan kitabnya pada umat.

Kemudian beliau menyusun lebih dari dua ratus kitab kitab berisi tanggapan dan kritik terhadap akidah Mu’tazilah sekaligus menyusun kitab tentang pedoman dan dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebuah warisan berharga terhadap perjuangan menegakkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan bagi umat Islam pada umumnya.

Diceritakan beberapa cuplikan akhir perdebatan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Ali Al Juba’i:

Abu Hasan bertanya pada Abu Ali: “Bagaimana pendapat Anda tentang tiga saudara yang telah meninggal dunia, yang pertama adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang meninggal dalam keadaan durhaka dan orang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil?”

Abu Ali menjawab: “Yang taat diberi pahala masuk surga, yang durhaka disiksa masuk neraka dan yang kecil ada di tengah-tengah antara keduanya (manzilah baina al-manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa.”

Abu Hasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau mengambil nyawa hamba saat masih kecil? Andai Engkau biarkan hamba hidup, maka hamba akan taat padaMu, hingga hamba masuk surga.” Lalu, bagaimana Allah menjawab?”

Abu Ali menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku tahu jikalau engkau dibiarkan hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka, hingga akhirnya masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah engkau mati di saat masih kecil.”

Abu Hasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku di saat aku masih kecil? Sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu, apa yang akan dikatakan Allah?!” Dan pada akhirnya Abu Ali Al Juba’i tidak mampu menjawab. Ibn ‘Imad menyampaikan, “Perdebatan ini membuahkan kesimpulan bahwa Allah akan merahmati siapa pun yang Ia kehendaki, dan menentukan siksaan bagi mereka yang juga telah dikehendakiNya.”

Semenjak itulah Abu Hasan Al Asy’ari meninggalkan madzhab Mu’tazilah. Beliau dan para pengikutnya mencurahkan perjuangan untuk membatalkan akidah Mu’tazilah.

Akidah Al Asy’ari dan Al Maturidi
Kedua tokoh pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi, telah menyepakati beragam konsep akidah, di antaranya masalah sifat-sifat wajib dan muhal (mustahil) bagi Allah, para rasul dan malaikat, sifat jaiz bagi Allah dan rasul, meskipun terkadang dalam argumentasi dan penalarannya berbeda. Perbedaan yang terjadi antara mereka berdua bukanlah perbedaan esensial. Menurut satu keterangan mereka berdua berbeda dalam tujuh puluh tiga, pendapat lain dua belas persoalan. Sedangkan menurut versi lain, perbedaan mereka hanya dalam tiga hal, yakni:

1. Seputar persoalan istitsna’ (pengecualian), atau masalah keimanan seseorang yang dalam perkataannya menambahkan pengecualian إن شاء الله.
2. Menyikapi masalah sifat takwin (mewujudkan)
3. Tentang keimanan seseorang yang hanya mengikuti orang lain yang dipercayai, tanpa mengetahui dengan jelas dalil-dalilnya atau dalam bahasa lain iman dari muqallid.

Seputar Istitsna’ (pengecualian)
Masalah istitsna’ , yakni persoalan keimanan seseorang yang mengatakan: “Saya mukmin, insya Allah.” Menurut kalangan Asy’ariyah hal tersebut diperbolehkan, namun menurut Al Maturidiyyah tidak diperbolehkan. Sebagaimana dikutip dari penyataan Al Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din: “Apabila kalian bertanya, dari mana tinjauan ucapan ulama salaf ‘Saya mukmin insya Allah’, padahal pengecualian termasuk keraguan, sedangkan keraguan dalam iman adalah kufur. Sedangkan ulama salaf menghindari jawaban mantap dalam keimanan dan mereka mengecualikan dengan kata-kata di atas?”

Dalam hal ini Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mengatakan saya mukmin di hadapan Allah, maka dia termasuk pembohong dan barangsiapa mengatakan ‘saya mukmin dengan haq’, maka itu adalah bid’ah.” Bagaimana mungkin dinilai pembohong, padahal dia telah mengetahui apa yang ada di hatinya sendiri, dan barangsiapa beriman dalam hati, maka artinya dia beriman juga di hadapan Allah. Sebagaimana orang tersebut tahu bahwa dirinya mendengar atau melihat, maka di hadapan Allah seharusnya juga demikian. Di satu kesempatan Hasan Bashri pernah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: ‘Insyaallah’, kemudian orang tersebut bertanya kembali: “Kenapa Anda menjawab insyaAllah?” Hasan Bashri menjawab: “Saya takut mengatakan “betul” sementara Allah mengatakan “bohong engkau Hasan.”

Ibrahim bin Adham mengatakan: “Saat kalian ditanya, ‘Apakah Anda mukmin?’ Maka jawablah dengan perkataan:”Laa ilaha illallah” atau jawablah: “Saya tidak ragu-ragu dalam keimanan, hanya saja apa yang engkau tanyakan adalah bid’ah.” Saar Al Qamah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: “Saya berharap demikian, insya Allah.”

Kemudian, apa arti semua pengecualian di atas? Al Ghazali memaparkan bahwa melakukan pengecualian (istisna’) sebagaimana di atas dapat dibenarkan. Hal ini tidak terlepas dari empat faktor. Dua faktor merupakan istitsna’ yang dilatarbelakangi dari adanya keraguan tentang akhir hidup yang belum pasti (naudzubillah min suu’il khatimah) atau tentang kesempurnaan iman. Dan dua faktor yang lain merupakan istitsna’ yang tidak dilatarbelakangi keraguan.

Faktor pertama, melakukan istisna’ karena keraguan atas kesempurnaan iman. Sehingga perkataan “Saya mukmin, insya Allah”, dapat ditafsirkan maksudnya adalah, “saya mukmin dengan iman yang haq (sebenar-benarnya), insya Allah”. Dilatarbelakangi karena ada sebagian manusia mendapatkan predikat ‘mukmin yang haq’ dari Allah. FirmanNya dalam QS. Al-Anfaal :04:

أولئك هم المؤمنون حقا.
Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”

Setiap manusia mengalami keraguan semacam ini, dan bukan dinilai sebagai kekufuran. Dan hal ini dibenarkan memandang dua aspek. Pertama, bahwasanya kemunafikan dapat menghilangkan kesempurnaan iman, padahal kemunafikan samar dan halus keberadaannya serta belum dipastikan terlepas dari manusia. Kedua, meskipun kesempurnaan iman dapat dicapai melalui beberapa amal ketaatan, namun juga abstrak keberadaannya.

Faktor kedua, melakukan istisna’ karena keraguan atas tetapnya iman di akhir hayat. Setiap manusia tidak tahu apakah imannya selamat atau tidak? Jika hidup diakhiri dengan kekufuran, maka terhapuslah semua amal yang telah lewat, na’udzubillah min dzalik. Sebagaimana orang yang berpuasa di siang hari saat ditanyai: “Apa puasamu sah?” Kemudian ia menjawab: “Aku pasti berpuasa.” Dan ternyata ia berbuka di tengah hari, maka jelas ungkapannya termasuk kebohongan.

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena kekhawtiran merasa dirinya bersih dari sifat yang tidak terpuji. Sedangkan merasa bersih adalah larangan Allah swt. Firman Allah dalam QS. An-Najm: 32;

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Orang bijak saat ditanya: “Apakah kejujuran yang jelek?” Ia akan menjawab: “Memuji diri sendiri.”

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena berlaku adab dengan menyebutkan Allah dan menyerahkan semuanya atas kehendak Allah. Sedangkan Allah mengajarkan adab terhadap nabiNya dengan berfirman:
ولاتقولن لشيء إنى فاعل ذلك غدا إلا ان يشاء الله
Artinya: “Jangan kalian benar-benar mengatakan atas sesuatu: Aku akan melakukan sesuatu esok hari, kecuali atas kehendak Allah.”

Allah swt. juga mengajarkan hal tersebut pada hal-hal yang sudah pasti terjadinya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath:26:

لتدخلن المسجد الحرام إن شاء الله امنين محلقين رؤوسكم ومقصرين
Artinya: “Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya.”

Menyikapi Teori At-Takwin
Al Asy’ari dan Al Maturidi berbeda mempersoalkan apakah at-Takwin termasuk sifat mukawwin atau bukan? Menurut Al Maturidi, at-takwin (mewujudkan) sebagaimana memberi rezeki, menjadikan hidup mati, memberi rezeki sejalan dengan qudrah, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin dan takwin bukanlah mukawwin (yang menjadikan). Menurut Al-Asy’ari, at-takwin tidak berbeda dengan qudrah dengan menilik hubungannya secara khusus. Mewujudkan adalah sifat qudrah dengan memandang hubungannya kepada makhluk. Memberi rizqi adalah sifat qudrah dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rezeki.

Tentang Keimanan Muqallid
Menurut Al Maturidi, iman muqallid (orang yang mengikuti orang lain tanpa memahami dalil) adalah sah dan mereka orang awam disebut dengan ‘arif (orang yang ma’rifat pada Allah) dan masuk surga. Menurut Al Asy’ari dan ulama lain yang sependapat, bahwa kewajiban ma’rifat tidak cukup dengan taqlid. Pengikut Al Asy’ari dalam hal ini juga berbeda pendapat mengenai iman seorang muqallid. Ditemukan tiga versi di kalangan mereka. Pertama, muqallid adalah mukmin, namun berdosa karena tidak berusaha mengusahakan ma’rifat melalui analisa dalil. Kedua, muqallid dianggap mukmin dan tidak berdosa, kecuali jika mampu mengupayakan analisa dalil. Ketiga, muqallid tidak dianggap mukmin sama sekali.


SUMBER
Share:

Total Pengunjung