Pelajar wonokerto

My Blog List

Friday, September 23, 2011

SEJARAH LAHIRNYA ILMU NAHWU

Bangsa arab merupakan bangsa yang memilki nilai sastra yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumbul dan membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal.

Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab. Penyebab utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat Al Quran. Sehingga Akhirnya kaidah-kaidah bahasa arab disusun dan diberi nama nahwu.

Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abul Aswad Ad Dualy (67 H) dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali Rhadiyallahu ‘anhu.

١- التحفة السنية بشرح المقدمة الأجرومية – شيخ محمد محي الدين عبد الحميد – ص : ٦

واضعه – والمشهور أن أول واضع لعلم النحو هو أبو أسود الدوليُّ ، بأمر أمير المؤمنين عليّ بن أبي طالب رضي الله تعالى عنهما !.

٢- الكواكب الدرية على متمّة الأجروميّة- الشيخ محمد بن أحمد بن عبد الباري الأهدَل ص:٢٥ – دار الكتب العلمية.

وسبب تسمية هذا العلم بالنحو ما روي أن عليًا رضي الله عنه لما أشار على أبي الأسود الدولي أن يضعه قال له بعد أن علمه الاسم والفعل والحرف : الاسم ما أنبأ عن المسمى ، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى ، والحرف ما أنبأ عن معنى في غيره والرفع للفاعل وما اشتبه به والنصب للمفعول وما حمل عليه والجر للمضاف وما يناسبه انح هذا النحو يا أبا الأسود فسمي بذلك تبركاً بلفظ الواضع له

Sejarah munculnya Ilmu Nahwu ini pada ketika zaman Abul Aswad Ad-Dauli datang kerumah puterinya di tanah Basroh, (pada masa sekarang sebuah negeri di negara Iraq). Pada saat itu puterinya mengatakan يَا أَبَتِ مَا اَشَدُّ الْحَرِّ, dengan membaca Rofa’ pada lafadz اَشَدُّ dan membaca jar pada lafazh الْحَرّ , yang menurut bahasa yang benar مَا nya dilakukan sebagai Istifham yang artinya: “Wahai Ayahku ! Kenapa sangat panas?

Dengan spontan Abul Aswad menjawap شَهْرُنَا هَذَا (Wahai Puteriku, bulannya memamg musim panas).

Mendengar jawapan Ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi khabar kepadamu atas kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan مَا اَشَدَّ الْحَرَّ , dengan membaca fathah pada اَشَدَّ dan membaca Nashob الْحَرَّ ).

Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:

اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَيَخْرُجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ عَلَى هَذَا النَّحْوِ

Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk sesamanya ini”.

Kemudian Abul Aswad Ad-Dauli mengarang bab Istifham dan Ta’jjub, dan Di kisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan :

إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”


Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rosak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,

إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Kerana mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rosak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Lalu beliau mengarang bab Athof dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu dihaturnya pada Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali sehingga sampai mencukupi ilmu Nahwu yang mencukupi. Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu Nahwu pada haqiqotnya adalah Khalifah Saidina ‘Ali, yanag melaksanaakannya adalah Abul Aswad Ad-Dauli. Pada pekembnagan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu dari Abul Aswad, diantaranya Maimun Al-Aqron, kemudian generasinya Abu Amr bin Ala’, kemudian generasinya Imam al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam Al-Kisa’I (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Share:

Saturday, September 3, 2011

Kesaksian Mustahil Rukyat Saudi Syawwal 1432

Oleh : Mutoha Arkanuddin

Ramadhan 1432 H telah berlalu dengan berbagai kesimpulan mengenai datangnya awal Syawwal 1432 H. Di Indonesia setidaknya terjadi beda penentuan awal Syawwal tahun ini dalam rentang 4 hari. Jamaah Naqsabandiyah Padang merayakan pada 29 Agustus, Muhammadiyah pada 30 Agustus, Pemerintah dan beberapa ormas seperti NU, Persis, PUI dan Al Irsyad tanggal 31 Agustus dan Jamaah Islam Aboge merayakannya pada 1 September.

Sementara di tingkat global penentuan 1 Syawwal hampir serentak dirayakan oleh negara-negara muslim dengan kebanyakan mengikuti keputusan Saudi yang menetapkan 1 Syawwal jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011 kecuali beberapa negara seperti Indonesia, Brunei Darussalam, Oman, Pakistan, Banglades, Libya, Afrika Selatan, Trinidad, Tobago, Inggris dan Australia. Penetapan Saudi tersebut konon berdasarkan pada laporan rukyat hilal pada Senin, 29 Agustus lalu oleh beberapa orang saksi yang telah disumpah padahal saat itu kedudukan hilal baru setinggi 0,5° di atas ufuk saat Matahari terbenam.

Tidak jemu-jemunya saya selalu mempermasalahkan "klaim rukyat Saudi" ini selama saya belum mendapat jawaban mengenai "misteri" ada apa sebenarnya yang terjadi dengan kriteria rukyat hilal di Saudi terlepas masalah perbedaan yang juga nyata-nyata terjadi di dalam negeri. Kaidah rukyatul hilal yang diterapkan otoritas kerajaan Arab Saudi seolah membodohi kita setiap tahunnya dengan "laporan-laporan palsunya" .

Keputusan Saudi menerima 'klaim rukyat' dalam kondisi hilal 'not possible sighting' menurut kriteria sains ini memang sudah bisa diprediksi sebelumnya dan itu bukan kali pertama Mahkamah Agung Saudi bertindak 'tidak ilmiah' seperti ini. Kontroversi tehadap keputusan Saudi yang kerap kali menerima kesaksian hilal saat 'not possible sighting' atau bahkan hilal masih di bawah ufuk memang sudah lama menjadi bahan diskusi para pakar falak dunia di forum Islamic Crescent Observation Project (ICOP) yang berpusat di Jordania dan Forum Moonsighting Committee Worldwide (MCW) yang berpusat di USA. Sementara di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan banyak memiliki pakar falak ini justru kasus ini tidak begitu populer.

Pada prinsipnya para pakar tersebut menyayangkan sikap otoritas Saudi yang hanya mendasarkan pada pengakuan seorang saksi apalagi saksi tersebut ternyata hanya orang awam (badui) yang notebene bukan petugas resmi dari kerajaan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Bahkan setiap laporan saksi tanpa pernah dilakukan klarifikasi dan uji materi tentang validitas laporan tersebut.

Para pakar tersebut juga sempat membuat Petisi yang disampaikan langsung kepada pihak kerajaan mengenai kejanggalan tersebut. Lucunya lagi tim resmi yang telah dibentuk oleh kerajaan yang melakukan rukyat di beberapa lokasi dan dilengkapi teleskop canggih yang mampu melakukan tracking secara akurat terhadap posisi Bulan dan perlengkapan pencitraan hilal menggunakan CCD itu justru tidak pernah dipercaya laporannya yang menyatakan hilal tidak terlihat. Menurut data yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, setidaknya selama 30 tahun terakhir, khusus untuk Zulhijjah saja dari 30 kali laporan rukyat ternyata sekitar 75% nya atau 23 laporan rukyat dinyatakan mustahil secara ilmiah dan 7 laporan rukyat diterima.

Penentuan awal bulan dalam kaitannya dengan ibadah seperti Ramadhan, Syawwal dan Hijriyah di Saudi memang menggunakan rukyat sbg dasarnya, sementara hisab hanya digunakan untuk pembuatan kalender sipil untuk kepentingan kenegaraan dan kemasyarakatan yang disebut sebagai Kalender Ummul Qura. Namun itulah yang berlaku di sana 'hilal syar'i' bukan 'hilal falaki'. Entah sampai kapan Saudi akan bertahan dg tradisi ini. Di zaman hitungan yg super akurat sekarang ini hisab justru menjadi sesuatu yang "qath'i" karena sudah terbukti akurasinya, sementara hasil rukyat lebih bersifat "dhon" karena sangat berpeluang terjadinya 'salah identifikasi terhadap obyek yg disebut sebagai hilal saat rukyat entah karena faktor psikologis maupun faktor lingkungan. Lalu kenapa Saudi kerap menerima "klaim rukyat" yang sebenarnya sudah diketahui bahwa itu mustahil? Inilah teka-tekinya. Beberapa kemungkinan jawaban sebenarnya sudah saya dapatkan, namun saya belum berani tulis di sini sebab masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Namun demikian tetap saja bagi saya ini masih "misteri". Apakah memang disengaja?

Sumber Klik di Sini

Share:

Total Pengunjung