Pelajar wonokerto

My Blog List

Wednesday, July 20, 2011

DOWNLOAD PD-PRT IPNU IPPNU 2009


PD-PRT IPNU IPPNU
HASIL
KONGRES XVI IPNU
Ponpes Al-Hikmah Brebes, 19-24 Juni 2009
Silakan
Share:

Saturday, July 16, 2011

PENGURUS PAC IPPNU KEC. WONOKERTO 2011-2013

STRUKTUR KEPENGURUSAN
PIMPINAN ANAK CABANG
IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA
KEC. WONOKERTO KAB. PEKALONGAN
PERIODE V MASA BAKTI 2011-2013

Penanggung Jawab
MWC NU Kec. Wonokerto

Pembina
Daryati ( Pecakaran )
Eka Riyanti ( Sijambe )
Masyquro ( Sijambe )

BADAN PENGURUS HARIAN
Ketua umum : Ummu Wasilah (Api-a pi)
Ketua I : Maysaroh ( Tratebang )
Ketua II : Zubaidah ( Bebel )

Sekretaris : Siti Thoharoh ( Rowoyoso )
Wakil Sekretaris : Lulu Arifatul Khofiyah (Rowoyoso)

Bendahara :Nur Ifah (Sijambe)
Wakil Bendahara : Khusnul Khotimah ( Wonokerto kulon )


DEPARTEMEN - DEPARTEMEN

Dept. Pembinaan Kader dan Organisasi
Zahrotul Aliyah ( Pecakaran ) *Koordinator
Khomsiyah ( Bebel )
Rizghotul Munawaroh (Api-api)
Rosy Jakatria (Rowoyoso)
Nur Khamida (Tratebang)

Dept. Pengembangan seni dan Olah Raga
Nur khikmah ( Rowoyoso ) *Koordinator
I’anah (Api-api)
Fasikhatul Lisaniah (Sijambe)
Khusnah ( Tratebang )
Munazillah (Pesanggrahan)

Dept. Dakwah dan Pengembangan Lingkungan
Tuslikhatun Khasanah (Rowoyoso) *Koordinator
Dewi Nastiti ( Tratebang )
Sri Herni ( Semut )
Yulekha (Pesanggrahan)
Munawaroh (Werdi)


LEMBAGA - LEMBAGA
Lembaga Advokasi Pelajar
Susi Ernawati ( Wonokerto Wetan )
Giarti Wahyu S, ( Pesanggrahan ) *Koordinator
Munasifah (Api-api)
Dyah Naila Z, ( Werdi )
Fitri (Semut)

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Rohmatun Ni”ami ( Wonokerto Wetan )
Fitri (Pecakaran) *Koordinator
Khotimatul Khusna (Pecakaran)
Tri Utami (Wonokerto Kulon)
Uswatun Khasanah (Pecakaran)

Lembaga Pers dan Jurnalistik
Sutiah ( Sijambe ) *Koordinator
Atika Wati (Rowoyoso)
Rokhafifah ( Pesanggrahan)
Titik Erliyah (Tratebang)
Rif’atin (Sijambe)

Lembaga Korps Kepanduan Putri
Vitriana ( Bebel ) *Koordinator
Anas Thoharoh (Werdi)
Nikmah ( Sijambe )
Misrokhatun Janah (Werdi)
May Arofah (Semut)
Share:

PENGURUS PAC IPNU KEC. WONOKERTO 2011-2013

STRUKTUR KEPENGURUSAN
PIMPINAN ANAK CABANG
IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA
KEC. WONOKERTO KAB. PEKALONGAN
PERIODE V MASA BAKTI 2011-2013


Penanggung Jawab
MWC NU Kec. Wonokerto

Pembina
Abdul Basid S.Pd.i ( Api-api )
Muiz abdillah
S.Pd.i (Pecakaran)
Anang ghufron (Api-api)


BADAN PENGURUS HARIAN

Ketua umum : Muhammad Rosyidin (Pesanggrahan)
Ketua I : Muttaqin (Pecakaran)
Ketua II : Adib Ahkami (Sijambe)

Sekertaris umum : Saiful Bahri (Sijambe)
wakil sekretaris : Zainal faizin (Bebel)

Bendahara : Abdul Aziz (Pesanggrahan)
Wakil Bendahara : Sunarso (Rowoyoso)



DEPARTEMEN - DEPARTEMEN

Dept. Pembinaan Kaderisasi dan Pengembangan Organisasi
Slamet Nurochman (Sijambe )
*Koordinator
Tarjo ( Rowoyoso )

Nur rohman ( Werdi )

Fakhruroddin (Pesanggrahan)


Dept. Pengembangan Budaya dan Olah Raga
Zaenuri ( Sijambe ) *Koordinator
Eko setiawan ( Rowoyoso )
Cut nyak dien (Sijambe )
Nur Ikhsanudin ( Tratebang )

Dept. Dakwah dan Pengembangan Lingkungan
Nur Fattah (Sijambe) *Koordinator
Yusuf Azhari ( Werdi )
Andre ( Semut )
Sucipto ( Pecakaran)


LEMBAGA - LEMBAGA

Lembaga Advokasi Pelajar
Muhammad Fauzi (Sijambe) *Koordinator
Fasikhul Lisan (Rowoyoso)
Herlambang (Rowoyoso)
Munif Faisal ( Api-api )

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Hambali Ahmad ( Api-api ) *Koordinator
Aqwam Thoyyibi ( Api-api )
Bambang ( Wonokerto kulon )
Akhwan Setiawan ( Api-api )

Lembaga Pers dan Jurnalistik
Arkham Ali Firdaus ( Bebel ) *Koordinator
Ibnu Khoir ( Api-api )
Mubarizi ( Werdi )
M.Afif ( Werdi )

Lembaga Corps Barisan Pelajar
Didin Miftakhudin ( Pecakaran ) *Koordinator
Roidin ( Api-api )
Saiful Bahri ( Pesanggrahan )
Agus hakim ( Tratebang )
Share:

Wednesday, July 13, 2011

Konstruksi Nalar dan Perkembangan Ahlus Sunah Wal Jamaah

Menilik sejarah umat Islam di masa akhir khilafah dan masa-masa setelahnya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kekuatan riil yang berkembang dan mengakar melalui perjuangan di luar lingkaran pertikaian. Saat konflik mulai merusak berbagai sendi kehidupan umat, sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyikapi setiap persoalan, dan bersikap tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.

Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, terdapat beberapa sahabat yang bersikap netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin (ahli hadis), fuqaha’ (para ahli fikih), mufassirin (para ahli tafsir), dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam dan mengakar kuat sebagai kekuatan riil dalam ideologi, syariat, maupun bidang-bidang yang lain.


Pada kurun berikutnya, potret ‘perjuangan tradisional’ serupa dikembangkan oleh Al-Asy’ariy dalam menegakkan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana telah terdahulu, awalnya Al-Asy’ariy belajar kepada Al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah dan sementara waktu, Al-Asy’ariy menjadi penganut Mu’tazilah, sampai tahun 300 H. Dan setelah beliau mendalami paham Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba’i dalam berbagai masalah, terutama masalah Kalam. Perdebatan itu membuat Al-Asy’ariy meragukan konsep akidah Mu’tazilah, dan pada masa berikutnya mengikrarkan dirinya keluar dari Muktazilah, dan berjuang memantabkan Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Al-Asy’ariy membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (’aql). Dengan ini beliau berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu’tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy’ariyah inilah Mu’tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya, termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Al-Asy’ari dalam melemahkan Mu’tazilah bisa dimaklumi, karena sebelumnya Al-Asy’ariy pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul seluk beluk logika Mu’tazilah dan dengan mudah menguasai sisi dan titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun eksistensinya mulai diakui setelah keberhasilannya memukul Mu’tazilah dan komitmennya kepada akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Di masa pemerintahan Islam dikuasai Bani Abbasiyah, terjadi perdebatan sengit antara para ulama dan tokoh-tokoh teologi yang ditimbulkan akibat masuknya nilai-niai filsafat non Islam terutama dari barat (Yunani). Karena akar filsafat dan teologi mereka berangkat dari mitos tanpa dasar agama samawi yang kuat. Hal ini menimbulkan gejolak di dunia Islam dan berubah menjadi pertentangan tajam. Dalam tubuh umat Islam, pertentangan ini terkonsentrasi pada tarik menarik antara dua kutub utama yaitu ahlussunnah yang mempertahankan paham berdasarkan nash (naql) dan Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash (naql) dan bertumpu kepada akal semata. Karena inilah mereka disebut dengan kelompok rasionalis.

Memanfaatkan pemerintahan yang didominasi oleh pengagum filsafat, Muktazilah pada akhirnya berhasil mempengaruhi penguasa saat itu untuk mememaklumat faham Muktazilah sebagai akidah resmi negara. Muktazilah berhasil memboncengi kekuasaan khilafah Abbasiyah semenjak khalifah al-Ma’mun hingga kepemimpinan al-Mutawakkil. Mu’tazilah yang memegang kendali kekuasaan mencoba melakukan upaya pembatasan gerak dan pencekalan terhadap lawan-lawan mereka. Memanfaatkan isu-isu akidah mereka berupaya melikuidasi dan melenyapkan tokoh lawannya. Perlawanan ‘islam tradisional’ berbasis Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak bisa terelakkan, dan mulai menghebat pada saat barisan Ahlus Sunnah dikomandani oleh dua tokoh ulama yang cukup berpengaruh, Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Mereka dalam hal ini menjadi kutub kekuatan madzhab akidah yang sedang mengalami gempuran hebat dari kelompok rasionalis yang saat itu memang sedang di atas angin.

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Argumentasi dalil nash (naql) tidak begitu efektif digunakan sebagai alat penangkal argumen, karena lawan sejak semula sudah mengesampingkan dan menafikan dalil nash. Dapat kita saksikan sistematika hujjah Al-Asy’ary dan Al-Maturidi menyajikan kombinasi antara dalil aqli dan naqli. Pada masanya, metode ini sangat efektif untuk meredam argumen lawan.

Tentu tidak tepat membandingkannya dengan zaman yang berbeda. Karena kebutuhan dan bahasa umat tiap masa selalu berkembang dinamis. Mereka yang tidak memahami sejarah, atau bahkan tidak memahami konstruksi pemikiran Al-Asy’ary dan Al-Maturidi hanya memotret sisi rasionalisasi dalam kitab-kitab Al-Asy’ary dan Al-Maturidi maupun pengikutnya. Mereka yang tidak memahami duduk permasalahan tergesa-gesa menuduh bahwa madzhab teologi ini sesat. Padahal di masanya, mayoritas ulama berada di pihak Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena mereka menyaksikan pertarungan dan pergulatan pemikiran antara Ahli Sunnah dan kelompok rasionalis.

Dan secara de facto, mazhab akidah Asy’ariyah dan Al-Maturidi memang madzhab yang paling banyak dianut umat Islam secara tradisional dan turun temurun di dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam dan sebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatu dengan detail pemikiran Asy’ari, belum tentu semuanya menyepakati.

Sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk madzhab akidah al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-‘Id, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-‘Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi’i, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, As-Suyuti dan lain sebagainya. Dari kalangan mufassirin mutaqaddimin, ada Al-Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn ‘Athiyah, Abu Hayyan, Fahr Ad-Din Ar-Razi, Al-Baghawi, Abu Laits, Al-Wahidi, Al-Alusi, Al-Halabi, Al-Khathib As-Sarbini. Mufassirin muta’akkhirin diwakili, Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ibn ‘Asur dan lain-lain. Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi ‘Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.

Para ulama pengikut mazhab Hanafiyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Asy’ariyah. Mayoritas universitas Islam terkemuka di dunia menganut paham Al-Asy’ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas lainnya.

Sehingga tentunya mereka yang menilai Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah sesat perlu berpikir ulang, karena dengan menganggap sesat mereka, tentu saja kita perlu mengeluarkan para ulama di atas dari garis Islam, begitu juga universitas Islam dan para pemimpinnya. Bahkan semestinya mayoritas umat Islam sepanjang masa pun harus dianggap sesat dan keluar dari garis Islam. Tentu saja ini tidak sederhana dan bukan persoalan mudah. Kesimpulan obyektifnya, tidak mungkin dipungkiri bahwa Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa akidah ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dan diamini serta diterima dengan sukarela oleh mayoritas umat Islam secara turun temurun.

SUMBER



Share:

Pelopor Ahlussunnah wal Jamaah dan Akidahnya

Sayid Muhammad bin Muhammad al-Husaini atau yang lebih dikenal dengan As-Syaikh Murtadla Az-Zabidi dalam kitab beliau Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin mengatakan:

إذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتردية.
Artinya: “Jika disampaikan kalimat Ahli Al Sunnah Wal Jama’ah secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah golongan al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah.”

As-Syaikh Ahmad Bin Musa al-Khayali dalam Hasiyah Syarh al-Aqaid karya Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, juga mengatakan:

الاشاعرة هم اهل السنة والجماعة
Artinya: “Pengikut Abu Hasan al-Asy’ari semuanya adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.”

Artinya, ketika disampaikan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka ucapan tersebut memastikan Asy’ariyyah sebagai bagian dari golongan tersebut. Beliau menambahkan, termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyyah yang masyhur di wilayah Khurasan, sekitar Afganistan, Irak, Syam serta mayoritas daerah berpenduduk muslim. Sedangkan yang masyhur di daerah seberang Nahri Jaihun, yaitu daerah Khawarizm di Afganistan, Ahlussunnah di sana tergolong pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Komentar serupa juga disampaikan Imam Al-Kastalani.


Abu Hasan Al Asy’ari pada mulanya berguru ilmu kalam dari Abu Ali Al Juba’i, salah satu tokoh besar Mu’tazilah. Kemudian melalui sebuah proses panjang, beliau mulai mendapatkan sisi rapuh dari akidah Mu’tazilah. Setelah mendapatkan petunjuk Allah untuk memahami terang kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Al Asy’ari menjadi tokoh pertama yang menentang Mu’tazilah. Beliau dengan terang-terangan berdiri di muka kaum muslimin di atas mimbar masjid Basrah pada hari Jumat, menyampaikan dengan lantang khutbahnya sebagai berikut:

“Barang siapa telah mengenal diriku, mereka telah mengetahui akidahku, dan bagi yang belum mengenalku, perlu Anda semua ketahui bahwa saya adalah seseorang yang dulu mengatakan al Quran adalah makhluk, Allah tidak dapat disaksikan dengan penglihatan di akhirat nanti dan bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Dan ketahuilah, saya telah bertaubat dari akidah Mu’tazilah tersebut dan bertekad untuk menentang akidahnya. Wahai umat sekalian, selama beberapa waktu ini aku mengasingkan diriku untuk menelaah dan mencoba merenungkan dalil-dalil, namun tidak ada yang menjadikan diriku mantap. Kemudian aku meminta petunjuk Allah, hingga Allah memberiku petunjuk dengan keyakinan yang aku tuangkan dalam kitabku ini. Dan aku melepas akidahku selama ini, sebagaimana aku melepas bajuku ini.” Kemudian beliau melepas dan membuang bajunya dan menyerahkan kitabnya pada umat.

Kemudian beliau menyusun lebih dari dua ratus kitab kitab berisi tanggapan dan kritik terhadap akidah Mu’tazilah sekaligus menyusun kitab tentang pedoman dan dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebuah warisan berharga terhadap perjuangan menegakkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan bagi umat Islam pada umumnya.

Diceritakan beberapa cuplikan akhir perdebatan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Ali Al Juba’i:

Abu Hasan bertanya pada Abu Ali: “Bagaimana pendapat Anda tentang tiga saudara yang telah meninggal dunia, yang pertama adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang meninggal dalam keadaan durhaka dan orang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil?”

Abu Ali menjawab: “Yang taat diberi pahala masuk surga, yang durhaka disiksa masuk neraka dan yang kecil ada di tengah-tengah antara keduanya (manzilah baina al-manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa.”

Abu Hasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau mengambil nyawa hamba saat masih kecil? Andai Engkau biarkan hamba hidup, maka hamba akan taat padaMu, hingga hamba masuk surga.” Lalu, bagaimana Allah menjawab?”

Abu Ali menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku tahu jikalau engkau dibiarkan hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka, hingga akhirnya masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah engkau mati di saat masih kecil.”

Abu Hasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku di saat aku masih kecil? Sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu, apa yang akan dikatakan Allah?!” Dan pada akhirnya Abu Ali Al Juba’i tidak mampu menjawab. Ibn ‘Imad menyampaikan, “Perdebatan ini membuahkan kesimpulan bahwa Allah akan merahmati siapa pun yang Ia kehendaki, dan menentukan siksaan bagi mereka yang juga telah dikehendakiNya.”

Semenjak itulah Abu Hasan Al Asy’ari meninggalkan madzhab Mu’tazilah. Beliau dan para pengikutnya mencurahkan perjuangan untuk membatalkan akidah Mu’tazilah.

Akidah Al Asy’ari dan Al Maturidi
Kedua tokoh pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi, telah menyepakati beragam konsep akidah, di antaranya masalah sifat-sifat wajib dan muhal (mustahil) bagi Allah, para rasul dan malaikat, sifat jaiz bagi Allah dan rasul, meskipun terkadang dalam argumentasi dan penalarannya berbeda. Perbedaan yang terjadi antara mereka berdua bukanlah perbedaan esensial. Menurut satu keterangan mereka berdua berbeda dalam tujuh puluh tiga, pendapat lain dua belas persoalan. Sedangkan menurut versi lain, perbedaan mereka hanya dalam tiga hal, yakni:

1. Seputar persoalan istitsna’ (pengecualian), atau masalah keimanan seseorang yang dalam perkataannya menambahkan pengecualian إن شاء الله.
2. Menyikapi masalah sifat takwin (mewujudkan)
3. Tentang keimanan seseorang yang hanya mengikuti orang lain yang dipercayai, tanpa mengetahui dengan jelas dalil-dalilnya atau dalam bahasa lain iman dari muqallid.

Seputar Istitsna’ (pengecualian)
Masalah istitsna’ , yakni persoalan keimanan seseorang yang mengatakan: “Saya mukmin, insya Allah.” Menurut kalangan Asy’ariyah hal tersebut diperbolehkan, namun menurut Al Maturidiyyah tidak diperbolehkan. Sebagaimana dikutip dari penyataan Al Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din: “Apabila kalian bertanya, dari mana tinjauan ucapan ulama salaf ‘Saya mukmin insya Allah’, padahal pengecualian termasuk keraguan, sedangkan keraguan dalam iman adalah kufur. Sedangkan ulama salaf menghindari jawaban mantap dalam keimanan dan mereka mengecualikan dengan kata-kata di atas?”

Dalam hal ini Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mengatakan saya mukmin di hadapan Allah, maka dia termasuk pembohong dan barangsiapa mengatakan ‘saya mukmin dengan haq’, maka itu adalah bid’ah.” Bagaimana mungkin dinilai pembohong, padahal dia telah mengetahui apa yang ada di hatinya sendiri, dan barangsiapa beriman dalam hati, maka artinya dia beriman juga di hadapan Allah. Sebagaimana orang tersebut tahu bahwa dirinya mendengar atau melihat, maka di hadapan Allah seharusnya juga demikian. Di satu kesempatan Hasan Bashri pernah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: ‘Insyaallah’, kemudian orang tersebut bertanya kembali: “Kenapa Anda menjawab insyaAllah?” Hasan Bashri menjawab: “Saya takut mengatakan “betul” sementara Allah mengatakan “bohong engkau Hasan.”

Ibrahim bin Adham mengatakan: “Saat kalian ditanya, ‘Apakah Anda mukmin?’ Maka jawablah dengan perkataan:”Laa ilaha illallah” atau jawablah: “Saya tidak ragu-ragu dalam keimanan, hanya saja apa yang engkau tanyakan adalah bid’ah.” Saar Al Qamah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: “Saya berharap demikian, insya Allah.”

Kemudian, apa arti semua pengecualian di atas? Al Ghazali memaparkan bahwa melakukan pengecualian (istisna’) sebagaimana di atas dapat dibenarkan. Hal ini tidak terlepas dari empat faktor. Dua faktor merupakan istitsna’ yang dilatarbelakangi dari adanya keraguan tentang akhir hidup yang belum pasti (naudzubillah min suu’il khatimah) atau tentang kesempurnaan iman. Dan dua faktor yang lain merupakan istitsna’ yang tidak dilatarbelakangi keraguan.

Faktor pertama, melakukan istisna’ karena keraguan atas kesempurnaan iman. Sehingga perkataan “Saya mukmin, insya Allah”, dapat ditafsirkan maksudnya adalah, “saya mukmin dengan iman yang haq (sebenar-benarnya), insya Allah”. Dilatarbelakangi karena ada sebagian manusia mendapatkan predikat ‘mukmin yang haq’ dari Allah. FirmanNya dalam QS. Al-Anfaal :04:

أولئك هم المؤمنون حقا.
Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”

Setiap manusia mengalami keraguan semacam ini, dan bukan dinilai sebagai kekufuran. Dan hal ini dibenarkan memandang dua aspek. Pertama, bahwasanya kemunafikan dapat menghilangkan kesempurnaan iman, padahal kemunafikan samar dan halus keberadaannya serta belum dipastikan terlepas dari manusia. Kedua, meskipun kesempurnaan iman dapat dicapai melalui beberapa amal ketaatan, namun juga abstrak keberadaannya.

Faktor kedua, melakukan istisna’ karena keraguan atas tetapnya iman di akhir hayat. Setiap manusia tidak tahu apakah imannya selamat atau tidak? Jika hidup diakhiri dengan kekufuran, maka terhapuslah semua amal yang telah lewat, na’udzubillah min dzalik. Sebagaimana orang yang berpuasa di siang hari saat ditanyai: “Apa puasamu sah?” Kemudian ia menjawab: “Aku pasti berpuasa.” Dan ternyata ia berbuka di tengah hari, maka jelas ungkapannya termasuk kebohongan.

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena kekhawtiran merasa dirinya bersih dari sifat yang tidak terpuji. Sedangkan merasa bersih adalah larangan Allah swt. Firman Allah dalam QS. An-Najm: 32;

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Orang bijak saat ditanya: “Apakah kejujuran yang jelek?” Ia akan menjawab: “Memuji diri sendiri.”

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena berlaku adab dengan menyebutkan Allah dan menyerahkan semuanya atas kehendak Allah. Sedangkan Allah mengajarkan adab terhadap nabiNya dengan berfirman:
ولاتقولن لشيء إنى فاعل ذلك غدا إلا ان يشاء الله
Artinya: “Jangan kalian benar-benar mengatakan atas sesuatu: Aku akan melakukan sesuatu esok hari, kecuali atas kehendak Allah.”

Allah swt. juga mengajarkan hal tersebut pada hal-hal yang sudah pasti terjadinya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath:26:

لتدخلن المسجد الحرام إن شاء الله امنين محلقين رؤوسكم ومقصرين
Artinya: “Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya.”

Menyikapi Teori At-Takwin
Al Asy’ari dan Al Maturidi berbeda mempersoalkan apakah at-Takwin termasuk sifat mukawwin atau bukan? Menurut Al Maturidi, at-takwin (mewujudkan) sebagaimana memberi rezeki, menjadikan hidup mati, memberi rezeki sejalan dengan qudrah, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin dan takwin bukanlah mukawwin (yang menjadikan). Menurut Al-Asy’ari, at-takwin tidak berbeda dengan qudrah dengan menilik hubungannya secara khusus. Mewujudkan adalah sifat qudrah dengan memandang hubungannya kepada makhluk. Memberi rizqi adalah sifat qudrah dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rezeki.

Tentang Keimanan Muqallid
Menurut Al Maturidi, iman muqallid (orang yang mengikuti orang lain tanpa memahami dalil) adalah sah dan mereka orang awam disebut dengan ‘arif (orang yang ma’rifat pada Allah) dan masuk surga. Menurut Al Asy’ari dan ulama lain yang sependapat, bahwa kewajiban ma’rifat tidak cukup dengan taqlid. Pengikut Al Asy’ari dalam hal ini juga berbeda pendapat mengenai iman seorang muqallid. Ditemukan tiga versi di kalangan mereka. Pertama, muqallid adalah mukmin, namun berdosa karena tidak berusaha mengusahakan ma’rifat melalui analisa dalil. Kedua, muqallid dianggap mukmin dan tidak berdosa, kecuali jika mampu mengupayakan analisa dalil. Ketiga, muqallid tidak dianggap mukmin sama sekali.


SUMBER
Share:

Sunday, July 3, 2011

Kesepakatan Ulama: Talfiq Tidak Dibenarkan

Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut


Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:

(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما (تنويرالقلوب , 397)

“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang bberpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397)

Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
a. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.

b. Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu.

Talfiq semacam itu dilarang agama. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:


ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)


“talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh sebagian orang.

Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan kondisi dan situasi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai cirri khas tersendiri. Tuntutan kemashlahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat lain.

Share:

MENCEGAH PENGARUH RADIKAL YANG MERUSAK NKRI

Oleh : Arkham (Lembaga Pers dan Jurnalistik)
Juara 1 Lomba Artikel di Porseni dan Perkemahan PC IPNU IPPNU Kab. Pekalongan tgl. 1-3 Juli 2011 di Wonopringgo

Menegakkan NKRI adalah kewajiban semua lapisan masyarakat, dan caranya pun bermacam-macam, bukan hanya berperang membela negara, namun dengan melakukan kegiatan yang positif, yang dapat meningkatkan rasa persatuan dan nasionalisme, memberikan tausyiah agama untuk membela negara, menciptakan lingkungan yang tentram itu juga termasuk menegakkan NKRI, bukan dengan jalan menghancurkan dan menganiaya atas nama agama Islam. Masalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan, apalagi jika masalah pyang timbul dikarenakan konflik antar agama, seperti perusakan rumah ibadah, penyerangan terhadap pengikut agama atau suatu aliran ataupun pelarangan peribadatan dengan cara kekerasan. Yang lebih memprihatinkan lagi, perusakan dan kekerasan yang terjadi dilakukan oleh suatu ormas yang mengatasnamakan Islam, dengan rombongan berpakaian rapi, mereka merusak dengan melafadkan kalimat “ALLAHU AKBAR”, Islam adalah agama yang megedepankan perdamaian, musyawarah, namun realitanya mereka melakukan perusakan tanpa didahului dengan musyawarah, seakan-akan mereka yang paling benar dan suci.

Permasalahan tersebut dapat mengganggu keamaan dan persatuan negara republikindonesia, ormas yang mengatasnamakan perjuangan membela islam pada realitanya seakan-akan membela kepentingan mereka sendiri, padahal dalam suatu hadits dikatakan :

Barangsiapa menolak ketaatan (membangkang) dan meninggalkan jama'ah lalu mati maka matinyajahiliyah, dan barangsiapa berperang di bawah panji (bendera) nasionalisme (kebangsaan atau kesukuan) yang menyeru kepada fanatisme atau bersikap marah (emosi) karena mempertahankan fanatisme (golongan) lalu terbunuh maka tewasnya pun jahiliyah. (HR. An-Nasaa'i)

Jelas sekali kita tidak boleh berjuang atas nama suatu golongan, dan kepentingan golongan itu, apalagi sampai melibatkan emosi, lalu Islam apa yang mereka perjuangkan? Jelas sekali mereka mengganggu keamanan dan persatuan NKRI, dengan dalih menegakkan syariat Islam, namun dengan cara kekerasan, apa itu benar?Dalam upaya menegakkan NKRI, kader IPNU dan IPPNU juga dapat berperan aktif dalam menghadapi permasalah yang timbul dalam masyarakat, seperti menanggulangi tindak kekerasan dan potensi terjadinya tindak terorisme, dengan melakukan diskusi, penyuluhan, dan kegiatan positif yang bertujuan untuk memperkuat iman, kesatuan dan kembali kepada al-qur’an dan as-sunah, bukan hanya mengkaji al-qur’an secara tekstual, namun secara mendalam. Tindak terorisme adalah hasil dari mengkaji Al-qur’an secara tekstual dan tanpa pertimbangan as-sunah, al-qur’an memang dasar dan sumber hukum Islam, namun Al-qur’an juga multitafsir yang harus dikaji dengan melihat sumber-sumber dan menggunakan Ilmu-Ilmu, mereka hanya tahu bahwa yang dimaksud dengan jihad hanya mati terbunuh dalam perang dan memerangi orang kafir, inilah yang digunakan mereka untuk mempengaruhi generasi muda, bahwa halal untuk melakukan kekerasan, halal untuk membunuh jika itu musuh kita, maka tidak heran timbul kekerasan, pengeboman, dan tindak kriminal atas nama menegakkan syariat Islam, hal ini juga menimbulkan bahwa umat Islam erat kaitannya dengan terorime, dikarenakan pergerakan yang radikal dan membabi buta, kesalahan yang dilakukan oleh segelintir orang namun imbasnya pada semua umat Islam, ini harus diluruskan kembali oleh kader IPPNU dan IPPNU, memberikan dan melakukan komunikasi sebagai sahabat karib pelajar dan generasi muda serta menjadi kader penyelamat Islam dan bangsa, karena target utama dari gerakan radikal adalah generasi muda yang masih labil dan dalam tahap mencari jati diri dan kebenaran.yang menentukan baik atau tidaknya suatu generasi dimulai dari generasi mudanya. Peran remaja IPNU dan IPPNU sangatlah penting, karena target utama IPNU dan IPPNU adalah pelajar, dimana emosional pelajar masih labil dan dalam tahap coba-coba dan ikut-ikutan, bila pelajar dapat diarahkan ke dalam kegiatan yang positif, dididik untuk memiliki jiwa nasionalisme, maka di masa depan berpotensi menjadi generasi Islam yang murni membela Islam dan Negara, serta dengan cara-cara yang agamis, bukan dengan cara kekerasan.

Banyaknya aliran-aliran maupun ormas yang bertujuan merusak stabilitas keamanan negara dan menghancurkan persatuan umat Islam adalah suatu permasalahan yang sulit dihadapi, karena hampir semua aliran dan ormas tersebut mengatasnamakan Islam yang paling benar dan menggunakan dalil-dalil yang keras untuk mempengaruhi generasi muda, serta pergerakan mereka pun terorganisir dengan rapi untuk merekrut anggota-anggota baru, lemahnya iman dan tak mempunyai dasar dalam beragama yang menjadikan pelajar dengan mudahnya masuk kedalam pengaruh mereka, maka dari itu, IPNU dan IPPNU yang kegiatannya bertujuan menciptakan pelajar yang agamis harus selalu aktif dan mencari solusi agar generasi muda dapat antusias mengikuti kegiatan keagamaan.

Kegiatan-kegiatan keagamaan dan pembelajaran di lingkungan sekolah dinilai kurang efektif, karena membosankan dan tidak menyenangkan, di dalamnya hanya timbul komunikasi satu arah dan hanya berbobot teori saja, kejenuhan dan tidak adanya kegiatan di luar pembelajaran, membuat mereka bosan dan ingin melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka senang dan melepas kepenatan. Kegiatan dan pergaulan pelajar di luar kegiatan sekolah lebih besar pengaruhnya terhadap kepribadiannya, bila pelajar tersebut bergaul dalam lingkungan yang agamis, maka akan timbul kepribadian yang baik, dan jika berada di lingkungan yang sering melakukan kegiatan negatif, tawuran, melakukan kegiatan seenaknya sendiri, maka akan timbul kepribadian yang tak memperdulikan orang lain, padahal mereka sangat berpotensi dalam memajukan bangsa Indonesia, sangat disayangkamsekli apabila generasi muda hanya melakukan kegiatan hura-hura yang tak ada manfaatnya. Disinilah Peran Setiap kader IPNU dan IPPNU sangat penting untuk mengajak pelajar dan generasi muda Indonesia untuk mengabdi dan bersosialisasi dalam lingkungannya, karena aliran radikal sangat mudah masuk ke dalam pemikiran pelajar yang jarang mengikuti kegiatan keagamaan disebabkan mereka tak punya dasar apapun dalam melakukan ibadah, mereka hanya melakukan sholat, puasa dan ibadah lainnya tanpa mengetahui hukum maupun dalilnya, sehingga jika diajak berargumen dengan kelompok radikal, mereka hanya akan menyetujui apa yang dikatakan oleh kelompok radikal. maka IPNU dan IPPNU harus melakukan kegiatan keagamaan yang dirangkum dengan cara yang menyenangkan, seperti menyantuni anak yatim sambil berkomunikasi dan melakukan permainan dengan mereka merupakanpraktik dari ceramah-ceramah yang mereka dengarkan, pelajarpun tak akan jenuh dan mereka akan mendapatkan nutrisi rohani, kegiatan membuat artikel dan majalah yang selanjutnya diberikan kepada pelajar yang isinya tentang hukum-hukum, dalil, dan dasar ibadah yang mereka lakukan, serta imbauan atau informasi tentang suatu kejadian yang berlangsung dalam masyarakat, kegiatan memainkan rebana dan bersolawatadalah kegiatan yang tepat bagi pelajar yang menyukai musik dan seni serta wadah untuk menyalurkan bakat yang dikemas dalam kegiatan yang positif, ceramah keagamaan maupun diskusi tanya jawab tengtang masalah yang sedang terjadi di masyarakat, agar timbul interaksi dan ukhwahislamiah antara pelajar dan kader IPNU dan IPPNU, dan banyak kegiatan lain seperti membaca kitab manakib, ziarah ke makam wali, membaca kitab berzanji dan diba’ yang dapat menumbuhkan kepribadian yang luhur pada generasi muda dan menjaga tradisiAhlu as-SunnahWa al-Jama’ah. Kegiatan IPNU dan IPPNU juga tak hanya mengurusi agama saja, melainkan kemaslahatan dan sosial bermasyarakat, bukan hanya untuk orang NU tapi untuk semua lapisan masyarakat, seperti susur pantai ataupun menanam pohon bakau, selain mengamalkan hadits kebersihan adalah sebagian dari iman juga kita menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Banyaknya kegiatan dalam IPNU dan IPPNU ini harusnya dapat disosialisasikan secara optimal oleh semua kader IPNU dan IPPNU, dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat menanggulangi kenakalan remaja yang mengganggu ketenteraman, serta untuk memperkuat keimanan dan membentengi dari pengaruh aliran radikal.

Dari kegiatan tersebut, pelajar akan mendapatkan banyak pengalaman, selain dari pengalaman keagamaan, mereka pun akan lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain, serta dapat mengajak teman-temannya untuk melakukan kegiatan yang positif. Akan tetapi, kader-kader IPNU dan IPPNU harus tetap mengawasi apabila terdapat kajian keagamaan, karena bisa saja di dalamnya mengatasnamakan Ahlu as-SunnahWa al-Jama’ah, namun di dalamnya dimasukkan aliran radikal, jangan sampai kader IPNU dan IPPNU malah ikut terjerumus, untuk itu, kader IPNU dan IPPNU harus selalu updatedalam mencari informasi, membuat penyuluhan dalam bentuk artikel maupun diskusi tanya jawab, menjaga komunikasi dan koordinasi pada setiap instansi sekolah dengan cara merekrut anggota dari tiap sekolah agar nanti akan lebih mudah saling memberi informasi apabila dari IPNU dan IPPNU mengadakan kegiatan dapat diinformasikan ke sekolah dan jika ada kegiatan di sekolah akan dapat diinformasikan kepada IPNU dan IPPNU, serta juga harus dapat bekerja sama dengan ranting-ranting lain untuk mencegah masuknya paham radikal ini, karena paham ini merekrut anggotanya tidak hanya pada satu tempat saja, namun menyebar dan berbaur di dalam masyarakat. Dalam keseharian kegiatan anggota IPNU dan IPPNU di luar kegiatan resmi IPNU dan IPPNU juga harus aktif dalam menyelesaikan dan membantu permasalahan dalam masyarakat, baik yang menyangkut agama maupun sosial, jangan sampai anggota IPNU dan IPPNU tidak tau dalil kegiatan yang mereka lakukan seperti berzanji, dan diba’, sehingga masyarakat awam pun mengetahui dasar hukum ibadah yang mereka lakukan, dengan demikian semakin kecil peluang kaum radikal untuk menyebarkan dan memengaruhi masyarakat, dengan demikian pula aliran dan ormas garis keras akan semakin mengecil dan penyelesaian masalah dengan damai dan agamis akan terwujud dalam masyarakat, sehingga kesatuan dan persatuan NKRI dapat terjaga dengan baik.

Jadi, peran IPNU dan IPPNU sangat penting dalam mencegah paham maupun aliran radikal yang bertujuan merusak NKRI dan agama Islam, dan ke depannya haruslah aktif dalam mencari kader-kader baru untuk dapat menjaga tradisi Ahlu as-SunnahWa al-Jama’ahdan memperkuat ukhuwah Islamiyah, dalam ajaran Islam tak ada kekerasan dan paksaan, jadi ormas yang melakukan kekerasan dan pemaksaan apakah masih bisa disebut membela ISLAM? Tetaplah berhati-hati dan teruslah berpedoman pada Al-qur’an dan As-Sunnah.

Share:

Total Pengunjung