Pelajar wonokerto

My Blog List

Thursday, August 18, 2011

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)



1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)

Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2.Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.

Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

Sumber Klik di Sini
Share:

Sunday, August 14, 2011

Tentang Lailatul Qadar

Sudah sering kita dengar istilah Lailatul Qadar, bahkan selalu lekat dalam ingatan. Namun demikian, nyatanya kita tidak akan pernah mengenal hakikat Lailatul Qadar itu sendiri, lantaran masalahnya amat ghaib. Pengetahuan kita terbatas hanya pada apa yang telah ditunjukkan di dalam berbagai nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta interpretasinya.

Secara etimologis, “lailah” artinya malam, dan “al-qadar” artinya takdir atau kekuasaan. Adapun secara terminologis, dapat kita coba dengan cara mengamati ayat berikut ini :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malm kemuliaan (Lailatul Qadar)” (QS Al-Qadar (97):1)


Dari pernyataan bahwa Al-Qur’an tersebut diturunkan pada saat Lailatul Qadar, dapat kita tangkap pengertian, yakni; pertama , Lailatul Qadar merupakan dari suatu malam, saat diturunkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Walhasil, Lailatul Qadar itu terjadi hanya satu kali, tidak sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi keagungan dan keutamaannya itu diabadikan oleh Allah SWT untuk tahun-tahun berikutnya. Tegasnya, Lailatul Qadar yang ada sekarang ini, hanyalah semacam hari peringatan yang memiliki berbagai keistimewaan yang sangat luar biasa.

Kedua, Lailatul Qadar merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan, yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al Qur’an secara keseluruhan.

Kedua pengertian tersebut di atas, merupakan hasil analisa yang boleh jadi dapat diterima oleh semua pihak, lantaran sama sekali tidak mengingkari keutamaan Lailatul Qadar. Sedangkan hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sementara lailatul Qadar itu sendiri, dalam sebuah ayat dinyatakan sebagai Lailah Mubarakah (ةalam kebaikan).

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.”(Q.S Ad Dukhaan (44):3)

Dalam masalah ini, para Muffasir menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu adalah saat diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzhke Baitul’Izzah, sebelum diwahyukan kepada Rasulullah SAW secara berangsur. Olah sebab itu, tidaklah dapat disamakan antara Lailatul Qadar dengan Nuzulul Qur’an atau turunnya ayat pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

Betapa mulia dan begitu istimewanya Lailatul qadar itu, sebagai rahmat dan nikmat Allah SWY bagi seluruh ummat Muhammad. Sehingga tak satupun dari kita yang tak suka jika mampu meraihnya. Dan wajar pula, jika malam jatuhnya Lailatul Qadar itupun selau dipertanyakan, bahkan nyaris selalu menimbulkan perselisihan pendapat.

Kapan Lailatul Qadar?

Menurut suatu pendapat ; Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ke 27 setiap bulan Ramadhan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا، فَلْيَتَحَرِّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Siapapaun mengintainya maka hendaklah mengntainya pada malam ke dua puluh tujuh.” (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Umar)

Sementara menurut pendapat yang lain; perintah Rasulullah SAW untuk mengintai pada malam ke 27 itu, bukan merupakan suatu kepastian bahwa Lailatul Qadar akan terjadi pada malam itu. Akan tetapi hanya sebagai petunjuk, bahwa pada malam itu memang kemungkinan besar akan terjadi. Terbukti dengan permyataan Rasulullah SAW sendiri dalam hadist yang lain.

أخْبَرَنَا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن لَيْلَةِ الْقَدْرِقال : هي في رمضان في العشر الأواخر ، في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخِرِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah SAW telah memberitakan kepadaku tentang Lailatul Qadar. Beliau bersabda: “Lailatul Qadar terjadi pada Ramadhan; dalam sepuluh hari terakhir. Malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan atau ,malam terakhir.”

Adapun yang dimaksud dengan malam terakhir dalam hadts di atas, tentunya jika sebulan Ramadhan itu hanya 29 hari. Sehingga malam yang ke 29 otomatis merupakan malam terakhir.

Dengan demikian, menurut kami pendapat yang kedua ini jauh lebih dasarnya ketimbang pendapat pertama. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa; jatuhnya Lailatul Qadar itu sama sekali tak dapat ditentukan secara pasti. Lantaran perupakan rahasia Allah SWT.

Lailatul Qadar yang agung itu—sebagaimana jawaban terdahulu sangantlah ghaib malam jatuhnya. Namun demikian, Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kepada ummatnya bahwa jatuhnya itu di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari Ramadhan terakhir. Maka tidak mustahil, jika diantara hari-hari itu setiap tahunnya akan berubah-ubah, sebagaimana dapat dicerna pula dari berbagai hadits yang berbeda-beda penjelasannya.

Kemungkinan berubah-ubah tersebut, jika dimaksudkan bahwa Lailatul Qadar itu merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan. Adapun jika dimaksudkan bahwa, Lailatul Qadar hanya semacam hari peringatan, maka tidak mungkin jatuhnya Lailatul Qadar itu akan berubah, bahkan sampai kiamat nanti.

Selain itu, nampaknya perlu kita sadari pula, bahwa tidak adanya kepastian pada malam tertentu tentang jatuhnya Lailatul Qadar ini, justru banyak membawa hikmah yang antara lain, untuk mandapatkan keutamaan dan berkah dari saat turunnya Lailatul Qadar itu, kaum Muslimin tidak hanya dengan bertekun ibadah semalam saja. Akan tetapi harus selama 10 malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW beserta keluarganya.

------------------------

Tidak Mustahil, jika Lailatul Qadar yang sangat didambakan namun tak dapat ditentukan tanggal pastinya itu sering diamati oleh banyak orang. Sehingga tentu saja setiap pengamat membutuhkan data dan informasi tentang tanda-tanda jatuhnya.

Dalam sejarah, salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama ’Ubal bin Ka’ab telah bersumpah bahwa ia pernah menyaksikan Lailatul Qadar itu. Sehingga ia mampu menjelaskan tanda-tandanya, sebagaimana dalam pernyataanya:

وَأمَارَتُهَا أنْ تَطْلُعَ الشَّمْسَ فِيْ صَبِيْحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا

”Dan salah satu tandanya adalah, pada pagi harinya cahaya matahari terbit memutih atau tidak bersinar seperti biasa.”(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tarmizi, dari Ubai bin Ka’ab)

Tanda ini hanya diketahui setelah Lailatul Qadar terjadi. Jadi, sama sekali bukan tanda akan jatuhnya. Sedangkan tanda-tanda ketika sedang terjadi Lailatul Qadar, menurut sebuah keterangan, adalah malam terasa begitu hening cuaca cerah, langit bersih, tak ada angin dan bebas dari mendung.

Namun bisa dipastikan Lailatul Qadar yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan itu, merupakan waktu mustajab untuk berdo’a. Jika seseorang telah yakin bahwa malam itu sedang terjadi Lailatul Qadar, maka hendaknya ia membaca do’a sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah, ketika beliau ditanya.

اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا

”Wahai Allah Sesungghnya Engkau maha pengampun serta suka mengampuni, maka ampunilah aku” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tarmizi dari’ Aisyah)

Adapun do’a sebagaimana dalam hadits tersebut di atas, merupakan do’a yang sekali diucapkan ketika seorang telah yakin bahwa, malam itu adalah Lailatul Qadar. Jadi, bukan do’a yang harus dibaca berulangkali semalam suntuk ketika diyakini sebagai Lailatul Qadar.

Lailatul Qadar yang penuh dengan keagungan, berkah dan hikmah itu, merupakan kesempatan emas bagi umat Muhammad untuk meraih keutamaan ibadah yang sangat istimewa dengan modal ketentuan maksimal. Adapun keutamaannya ibadah yang semalam itu melebihi pahala ibadah seribu bulan.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

”Tahukah engkau, apakah Lailatul Qadar Itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (Q.S Al Qadr(97):2-3)

Selain itu, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang bertekun ibadah pada saat Lailatul Qadar hanya karena Allah SWT, dengan hati senang serta selalu mengahrap ridha-Nya, maka akan diampuni dosa-dosanya.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Siapapun yang ibadahnya pada saat Lailatul Qadar karena iman serta mengharap ridho Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Pengertian ibadah sebagaimana dalam hadits di atas, memiliki makna yang sangat luas. Yakni mencakup segala macam bentuk ibadah; shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, i’tiqaf, Belajar ilmu agama dan lain sebagainya.

Cara Rasulullah SAW Menghadapi Lailatul Qadar

Rasulullah SAW, sebagai teladan yang terbaik, tentu saja akan jauh lebih sempurna amal ibadahnya dari pada umatnya. Dan dalam manghadapi Lailatul Qadar itu, beliau selalu membangunkan keluarganya untuk bertekun ibadah, agar supaya mendapatkan kehormatan yang teramat istimewa dari Allah SWT. Sedangkan hal ini dilakukannya pada setiap 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dengan harapan dapat terjaring Lailatul Qadar yang didambakannya.

كَانَ إذَا دَخَلَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرِ أَحْيَ الَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرِ

”Nabi SAW ketika telah masuk sepuluh hari terakhir maka beliau menghidupkan malam itu dengan membangunkan seluruh anggota keluarganya serta mengencangkan sarungnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ’ Aisyah)

كَانَ رسول الله صلى الله عليه و سلم يُوْقِظُ أَهْلَهُ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَيَرْفَعُ الْمِئْزَرِ


”Rasulullah SAW membangun keluarganya pada sepuluh hari terakhir dan menyingsingkan sarungnya.” (HR. Tarmizi, dari Ali bin abi Thalib)

Yang dimaksud dengan mengencangkan dan atau menyingsingkan sarungnya sebagaimana termaktub dalam kedua hadits tersebut di atas, adalah segera melaksanakan kegiatan ibadah, serta menjauhi isterinya.

Memang, banyak orang yang tahu persis keutamaan serta keistimewaan bergiat ibadah pada saat lailatul Qadar. Namun ternyata hanya sedikit orang yang yang mau berusaha melaksanakan ibadah tersebut supaya dapat meraih keutamaannya. Orang yang mengabaikan kesempatan ibadah dalam Lailatul Qadar, sama artinya dengan membuang kesempatan emas yang sangat berharga, serta menjauhkan dirinya dari segala kejahatan.

إنَّ هَذاَ الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيْهِ لَيْلَةً خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرَمَهَا فَقَدْ حَرَمَ الْخَيْرَ كًلُّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إلَّا مَحْرُوْمٌ

”Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang kepadamu, dan di dalamnya ada semalam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja terhalang darinya maka terhalang dari segala kebaikan dan tidaklah terhalang darinya kecuali orang yang terhalang.” (HR. Ibnu Majah, dari Anas bin malik)

Maksud dari hadits tersebut di atas yakni, jika seorang tidak mempedulikan ibadah dengan pahala yang amat besar pada Lailatul Qadar ini, maka secara logis sama artinya ia akan tertarik dengan ibadah di saat lain, yang tentu lebih rendah imbalan pahalanya. Dan alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.

Sumber Klik di sini
Share:

Monday, August 8, 2011

Lupa Niat Berpuasa Ramadhan

Niat adaah I’tikad tanpa ragu untuk melaksanakan amal. Dalam hal puasa Ramadhan , kapan saja terbersit dalam hati di waktu malam bahwa besok adalah Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat (al-Fiqh al-Islami, III, 1670)

Terus bagaimanakah jika terlupakan membaca niat untuk puasa Ramadhan pada malam hari, padahal malam itu juga makan sahur. Apakah secara otomatis sahur dapat dianggap sebagai niat, mengingat sahur sendiri dilakukan karena ingin berpuasa esok hari?

Hal yang demikian ini sering terjadi. Tak jarang menimbulkan keraguan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khatara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami, III, 1678).

Sedangkan menurut mazdhab lain ada keterangan tambahan. Jika sahur dilakukan pada waktunya (lewat tengah malam), maka tanpa niatpun dinilai cukup. Tetapi jika makan dan minum diluar waktu sahur (sebelum tengah malam) maka diperlukan niat berpuasa untuk esok hari.
Masalahnya, seringkali seseorang makan sahur dalam keadaan belum sadar. Mungkin karena terlalu kantuk ataupun makan sambil tidur. Karena dikhawatirkan sama sekali tidak terbersit di hatinya keinginan untuk berpuasa. Maka niat berpuasa menjadi wajib.

Niat adalah ruh dalam amal. Suatu perkejaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada niatnya. Sebagaimana dimaksudkan dalam hadits:

إنما الأعمال بالنيات, وإنمالكل امرئ مانوى

Sahnya suatu amal bergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari)
Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati dan memperhatikan bagaimana agar niat kita sah. Untuk keabsahan niat menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, niat dilakukan pada waktunya, yaitu antara maghrib sampai menjelang shubuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. Dalam kitab-kitab fiqih ini lazim disebut tabyitun niyyah (menginapkan niat).

Kedua, menentukan niat tersebut untuk puasa wajib, bukan sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib.

Ketiga, memastikan niat (al-jazmu bin niyyah) untuk satu jenis puasa saja. sebagai contoh, jika pada tanggal 29 Sya’ban seorang berniat untuk berpuasa besok, dengan catatan jika besok sudah masuk bulan Ramadhan maka puasanya karena Ramadhan. Dan jika belum, maka puasanya dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Maka niat semacam ini tidak mencukupi syarat puasa yang manapun. Artinya, niat semacam itu tidak syah baik bagi puasa Ramadhan maupun Sunnah.

Keempat, niat dilakukan setiap hari sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta’addudun niyah bi ta’addudil ayyam). Satu kali niat hanya berlaku untuk satu hari puasa, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa yang lain, seperti hanya satu shalat (shubuh, misalnya) adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat lain (Dzuhur, misalnya). Buktinya, sah tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya puasa di hari yang lain.

Ringkasnya, cukup sebagai niat jika setiap hari antara Maghrib sampai menjelang Shubuh terdapat kesadaran dan maksud untuk melakukan puasa Ramadhan besok.

Disarikan dari Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci 2003
Sumber
Share:

Total Pengunjung