Pelajar wonokerto

My Blog List

Friday, May 25, 2012

TENTANG ISRA MI’RAJ

Isra' Mi'raj, Beranjak dari Kesedihan

Kehadiran Rasulullah SAW mendakwahkan ajaran Islam rupanya membuat orang-orang musyrik Makkah gerah. Rintangan dan teror ditujukan kepada beliau dan para pengikutnya dari waktu ke waktu. Karena kedengkian dan kejahatan mereka, orang-orang musyrik tak membiarkan Rasulullah dan para pengikutnya hidup tenang.

Namun pada tahun kedelapan dari kenabian, Rasulullah SAW justru mendapatkan beberapa cobaan yang teramat berat. Ujian itu adalah embargo kaum kafir Quraisy dan sekutunya terhadap umat Islam. Aksi embargo ini masih dijalankan meskipun waktu telah memasuki bulan Haram. Artinya Nabi beserta para sahabatnya tetap merasakan penganiayaan dan kedhaliman dari mereka yang biasanya menghentikan segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawannya.

Pada tahun ini pula dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah dipanggil menghadap Sang Rabb. Mereka adalah dua orang yang selama ini mendampingi dan melindungi dakwah Nabi. Dengan demikian, pada waktu itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran.

Lengkaplah sudah penderitaan Nabi dan para pengikutnya. Dalam sejarah Islam tahun kedelapan dari kenabian ini disebut sebagai ’amul huzni, tahun kesedihan.

Untuk menurunkan sedikit tensi kesedihan dan ketegangan, Rasulullah kemudian mengijinkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Thaif. Namun rupanya Bani Tsaqif yang menguasai tanah Thaif tidaklah memberikan sambutan hangat kepada para sahabatnya. Mereka yang datang meminta pertolongan justru diusir dan dihinakan sedemikian rupa. Mereka dilempari batu hingga harus kembali dengan kondisi berdarah-darah.

Keseluruhan cobaan berat ini dialami Rasulullah dan para sahabatnya pada tahun yang sama, yakni tahun kedelapan kenabian.

Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi ini, maka Allah SWT kemudian memberikan “tiket perjalanan” isra’ mi’raj kepada Nabi untuk menyegarkan kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi agama Islam.

Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad bahwa, segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai sebuah permulaan dari akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita.

Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha terlebih dahulu, yang menjadi pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya.

Ini dapat berarti bahwa umat Islam tidak memiliki larangan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, sekalipun kepada golongan di luar Islam. Hal ini dikarenakan, Islam menghargai peraturan-peraturan sebelum Islam, seperti halnya khitan yang telah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim AS.

Allah SWT berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Maha suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)

Sebagian ahli tafsir mengatakan, Allah SWT dalam ayat di atas menyebutkan Muhammad SAW dengan kata “hamba” bukan “rasul” atau “nabi”. Bahwa yang dibawa dalam perjalanan isra’ mi’raj itu adalah seorang hamba, yang berarti seorang yang senantiasa menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT.

 -00000-

Perintah Shalat Lima Waktu
Dalam perjalanan Isra' Mi'raj, setelah melampaui Masjidil Aqsha, Nabi langsung diangkat naik sampai ke langit tujuh, lalu Sidratul Muntaha dan Baitul Ma’mur. Imam Al-Bukhari meriwayatkan, pada saat peristiwa Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berada di Baitul Ma’mur, Allah SWT mewajibkannya beserta umat Islam yang dipimpinnya untuk mengerjakan shalat limapuluh kali sehari-semalam.

Nabi Muhammad menerima begitu saja dan langsung bergegas. Namun Nabi Musa AS memperingatkan, umat Muhammad tidak akan kuat dengan limapuluh waktu itu. ”Aku telah belajar dari pengalaman umat manusia sebelum kamu. Aku pernah mengurusi Bani Israil yang sangat rumit. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mitalah keringanan untuk umatmu.”

Nabi Muhammad kembali menghadap Sang Rabb, meminta keringanan dan ternyata dikabulkan. Tidak lagi lipapuluh waktu, tapi sepuluh waktu saja. Nabi Muhammad pun bergegas. Namun Nabi Musa tetap tidak yakin umat Muhammad mampu melakukan shalat sepuluh waktu itu. ”Mintalah lagi keringanan.” Nabi kembali dan akhirnya memeroleh keringanan, menjadi hanya lima waktu saja."

Sebenarnya Nabi Musa masih berkeberatan dengan lima waktu itu dan menyuruh Nabi Muhammad untuk kembali meminta keringanan. Namun Nabi Muhammad tidak berani. “Aku sudah meminta keringanan kepada Tuhanku, sampai aku malu. Kini aku sudah ridha dan pasrah.”

Nabi Muhammad memang mengakui bahwa pendapat Nabi Musa AS itu benar adanya. Lima kali shalat sehari semalam itu masih memberatkan. Namun lima waktu itu bukankah sudah merupakan bentuk keringanan?! Demikianlah.

Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً

Hai orang yang berselimut (Muhammad),),bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)... (QS. Al-Muzzammil, 73:1-19)

Ini adalah petunjuk bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang baru berjumlah sedikit kala itu memiliki kewajiban untuk bangun pada tengah malam untuk menjalankan kewajiban. Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke 20 atau ayat terakhir dari surat al-Muzammil ini diturunkan oleh Allah SWT.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...

Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem merupakan salah satu tempat sangat penting posisinya dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat dan para pengikutnya menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblatnya ke Ka'bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi di tengah-tengah ibadah shalat sedang berlangsung. Masjid tempat dilaksanakan shalat ketika perintah berpindah kiblat ini diturunkan hingga sekarang disebut sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat).

Allah senantiasa melibatkan Masjidil Aqsho dalam setiap perkembangan ajaran-ajaran seputar Shalat. Termasuk menghadap ke Baitul Maqdis sebelum dipindahkan kiblatnya ke Ka'bah. Perintah Shalat lima waktu diterima setelah Rasulullah dikaruniai singgah di Baitul Maqdis (QS. Al-Isra', 17:1) dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha.

Imam Syafi'i menyatakan, "Saya sangat suka beri'tikaf di Masjid (Baitul Maqdis), lebih dari Masjid manapun." Ketika ditanya alasannya, Beliau menjawab, "Di sinilah tempat berkumpul dan dikuburkannya beberapa Nabi Allah."

Sumber NU Online

Share:

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment

Total Pengunjung

107641